Aksi Penganiayaan Wartawan |
Di lapangan, para wartawan ini berteriak dengan lantang atas aksi kekerasan yang dilakukan oknum TNI AU tersebut. "Kami tidak menerima, aksi kekerasan yang dilakukan aparat TNI ini. Ini bentuk pembasmian kebebasan bicara dan mufakat. Ini gaya orde baru, yang terdokrin dibenak para pelindung negara," tegas seorang orator, dihadapan ratusan wartawan, disambut riuh tepuk tangan dan menjawab teriakan merdeka.
Dengan membawa sejumlah spanduk, mereka juga terus melontarkan kata-kata agar tindakan kekerasan gaya orde baru segera dihentikan. Apalagi hal ini terjadi di muka umum dan dilihat oleh seluruh masyarakat bahkan anak kecil.
Bahkan, seorang lagi juga berteriak lantang, agar oknum tersebut dipecat dari kesatuan TNI AU. Kalau tidak, mereka ingin agar oknum tersebut hengkang dari tanah melayu ini. "Ini negeri melayu, kalau TNI AU menggunakan kekerasan, jangan di tanah melayu Riau ini. Apapun alasannya," tegasnya.
Para wartawan yang demo ini tergabung dalam Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalistik Televisi (IJTi), dan Solidaritas Wartawan (Sowat), serta Pewarta Foto Indonesia (PFI) Riau, itu, jumlahnya mencapai ratusan.
Sebelumnya, adanya aksi ini diakui Ketua PWI Riau, Dheni Kurnia, di Pekanbaru, Selasa (16/10) kepada sejumlah wartawan. "Seluruh organisasi wartawan di Riau akan menggelar aksi demonstrasi, besok, Rabu 17 Oktober 2012," tegasnya singkat.
Aksi unjukrasa ini sebagai buntut dari kekerasan dan penganiayaan sejumlah oknum TNU AU terhadap sejumlah wartawan saat melakukan peliputan jatuhnya pesawat Hawk 200 di permukiman warga RT 03, RW 03, Desa Pandau Permai, Kecamatan Siak Hulu, Kampar, Riau, Selasa 16 Oktober 2012, pagi.
Tindak penganiayaan dilakukan oknum TNI tersebut dialami tujuh wartawan di Riau, yakni Didik Herwanto, fotografer Riaupos (Jawa Pos Grup), Fakhri Rubianto, reporter Riau Televisi, Rian FB Anggoro (pewarta kantor berita Antara), Ari (TV One, Irwansyah (reporter RTV) serta Andika (fotografer Vokal) dan terakhir Nasyuha Nasution (pewarta Pekanbaru Tribun).
"Aksi unjuk rasa ini sebagai bentuk kepedulian dan menentang keras tindakan penganiayaan terhadap wartawan, agar tidak terulang lagi," kata Dheni lagi.
Kecaman dari Berbagai Penjuru
Kecaman tak hanya terjadi di Pekanbaru. Sejumlah daerah di Provinsi Riau juga mendesak pengusutan masalah ini hingga tuntas dan menghukum semua oknum prajurit TNI dinilai melakukan tindakan brutal.
Di Dumai, Taluk Kuantan, Kampar, aksi berlangusng di Jalan Sudirman dan Jalan Sultan Syarif Kasim. Mereka mendesak agar Panglima TNI dicopot dari jabatan Danlanud Pekanbaru.
Gelombang aksi yang sama terjadi di Jakarta. Ratusan wartawan yang tergabung dalam Solidaritas Wartawan Anti Kekerasan, menggelar aksi di depan Istana Merdeka, dan kantor Kementerian Pertahanan, Jakarta.
Massa meminta Presiden SBY selaku Panglima Tertinggi TNI menginstruksikan kepada Panglima TNI untuk menindak tegas dan memproses hukum pelaku kekerasan terhadap wartawan di Riau. Serta meminta Presiden SBY menjamin tidak ada lagi peristiwa kekerasan terhadap wartawan saat peliputan.
Puluhan wartawan di Pangkalpinang, juga menyegel kantor Perwakilan TNI Angkatan Udara (AU) Komando Operasi TNI AU Pangkalan TNI AU Tanjungpandan. Mereka membentangkan spanduk dan karton bertuliskan kecaman terhadap tindak kekerasan kepada wartawan.
Aksi solidaritas dari wartawan juga terjadi di seluruh kota di Pulau Jawa; seperti Semarang, Surabaya, Solo, Madium, Bandung, Kediri, Sidoarjo, Malang dan kota-kota lainnya.
Sementara dari gedung DPR RI, Wakil Ketua Komisi I TB Hasanuddin meminta prajurit pelaku kekerasan terhadap wartawan dihukum sesuai aturan berlaku.
"Kasus itu sesungguhnya petugas TNI AU cukup membuat garis pembatas, dan tak perlu melakukan pemukulan-kekerasan," tambah politisi PDIP ini.
Thantowi Yahya, anggota Komisi I DPR RI menyerukan hal yang sama. Permintaan maaf itu tidak cukup. Oknum TNI AU melakukan kekerasan itu harus diproses sesuai hukum yang berlaku, baik secara internal (organisasi TNI), ada sanksi administratif bagi oknum yang bersangkutan maupun diproses melalui jalur hukum pidana," katanya.*
Kecaman dari Berbagai Penjuru
Kecaman tak hanya terjadi di Pekanbaru. Sejumlah daerah di Provinsi Riau juga mendesak pengusutan masalah ini hingga tuntas dan menghukum semua oknum prajurit TNI dinilai melakukan tindakan brutal.
Di Dumai, Taluk Kuantan, Kampar, aksi berlangusng di Jalan Sudirman dan Jalan Sultan Syarif Kasim. Mereka mendesak agar Panglima TNI dicopot dari jabatan Danlanud Pekanbaru.
Gelombang aksi yang sama terjadi di Jakarta. Ratusan wartawan yang tergabung dalam Solidaritas Wartawan Anti Kekerasan, menggelar aksi di depan Istana Merdeka, dan kantor Kementerian Pertahanan, Jakarta.
Massa meminta Presiden SBY selaku Panglima Tertinggi TNI menginstruksikan kepada Panglima TNI untuk menindak tegas dan memproses hukum pelaku kekerasan terhadap wartawan di Riau. Serta meminta Presiden SBY menjamin tidak ada lagi peristiwa kekerasan terhadap wartawan saat peliputan.
Puluhan wartawan di Pangkalpinang, juga menyegel kantor Perwakilan TNI Angkatan Udara (AU) Komando Operasi TNI AU Pangkalan TNI AU Tanjungpandan. Mereka membentangkan spanduk dan karton bertuliskan kecaman terhadap tindak kekerasan kepada wartawan.
Aksi solidaritas dari wartawan juga terjadi di seluruh kota di Pulau Jawa; seperti Semarang, Surabaya, Solo, Madium, Bandung, Kediri, Sidoarjo, Malang dan kota-kota lainnya.
Sementara dari gedung DPR RI, Wakil Ketua Komisi I TB Hasanuddin meminta prajurit pelaku kekerasan terhadap wartawan dihukum sesuai aturan berlaku.
"Kasus itu sesungguhnya petugas TNI AU cukup membuat garis pembatas, dan tak perlu melakukan pemukulan-kekerasan," tambah politisi PDIP ini.
Thantowi Yahya, anggota Komisi I DPR RI menyerukan hal yang sama. Permintaan maaf itu tidak cukup. Oknum TNI AU melakukan kekerasan itu harus diproses sesuai hukum yang berlaku, baik secara internal (organisasi TNI), ada sanksi administratif bagi oknum yang bersangkutan maupun diproses melalui jalur hukum pidana," katanya.*
0 komentar:
Posting Komentar