Askardiya R Patrianov |
CEKAU.COM - Sebaran dan jumlah kasus flu burung atau disebut Avian Influenza (AI), di Provinsi Riau, mulai surut perlahan. Namun, kondisi kelembaban udara yang tinggi maupun rendah dapat memicu berkembangbiaknya virus tersebut terhadap unggas. Meski sebaran dan jumlah kasus AI tersebut berkurang, diharapkan masyarakat terutama para peternak Riau tetap mewaspadai cuaca ekstrim, yang bisa memicu terjangkitnya virus H5N1 ini.
Hal tersebut diingatkan oleh Kepala Disnakeswan Riau, drh Askardiya R Patrianov MP kepada sejumlah wartawan di ruang kerjanya, Selasa (19/2/2013). "Sebenarnya, saban tahun, konsentrasi virus H5N1 ini lebih tinggi terjadi pada cuaca ektrim. Kondisi ini diyakini menjadi faktor resiko paling tinggi dalam penyebaran kasus flu burung di Indonesia dan Provinsi Riau khususnya," katanya.
Untuk itu, tambah Patrianov, sangat penting bagi Pemerintah Provinsi Riau untuk selalu berkoordinasi dengan kabupaten/kota hingga ke pusat dalam meningkatkan pengawasan terhadap bahaya penyebaran kritis H5N1 ini. Terutama di pasar-pasar tradisional dan lingkungan warga. Paling tidak, upaya koordinasi ini sebagai langkah antisipasi dini, terhadap resistensi positif kasus flu burung di Riau, yang lebih besar terjadi pada unggas dari pasar ataupun lingkungan.
Untuk itu, kata Patrianov, sebaran dan jumlah kasus AI di Riau harus diawasi secara berkelanjutan, sehingga dampak yang ditimbulkan dapat diminimalisir. Berkurangnya sebaran dan jumlah kasus AI ini tertinggi terjadi pada 2011, sebanyak 133 kasus di 89 desa. Menyusul pada 2009, ditemui 130 kasus di 110 desa. Namun pada 2012, terjadi penurunan kasus AI yang mencapai 81 kasus di 81 desa, dan 2013 kini baru ditemukan 13 kasus di 13 desa.
"Memang saat ini terjadi penurunan, meski angka ini belum final. Sebut saja tahun ini, dari 13 kasus AI tertinggi ditemui di Pekanbaru berjumlah 5 kasus di 5 desa. Menyusul Kampar, Bengkalis dan Siak, sebanyak 2 kasus di 2 desa. Dan, sisanya satu kasus dan satu desa," jelasnya.
Sementara jumlah kasus AI unggas yang mati di Riau, tambah Patrianov, tertinggi terjadi pada 2007 sebanyak 17.353 ekor dan terjadi penurunan drastis atas kematian unggas sampai tahun 2012 berjumlah 7.336 ekor. Sedangkan pada data terakhir 4 Februari 2013 sebanyak 237 kasus. Ini juga diikuti pada sebaran kematian unggas pada 2013 tertinggi terjadi di Kampar sebanyak 87 ekor, menyusul Bengkalis 49 ekor, Siak 43 ekor, Rokan Hulu 30 ekor, dan Pekanbaru 25 ekor. Sementara pada 2012, tertinggi terjadi di Indragiri Hulu sebanyak 2.052 ekor dan diikuti Pekanbaru 1.745 ekor.
"Jumlah kematian unggas pada 2013 akan bertambah, karena baru saja terjadi hari ini di Kuansing," sebutnya, dan menambahkan semoga tahun ini terus menurun, meski cuaca ekstrim memicu berkembangbiaknya virus AI ini.
Patrianov mengingatkan, manusia dapat terjangkit dengan avian influenza melalui kontak langsung dengan burung dan unggas yang terinfeksi, hidup atau mati. Untuk itu, perlu penanganan lebih lanjut, yaitu bila ada yang terinfeksi seperti demam, batuk, radang tenggorokan, nyeri otot atau infeksi atau dada.
"AI H5N1, umumnya lebih parah daripada flu biasa, dan sebagian besar pasien membutuhkan perawatan secara intensif di rumah sakit. Dengan obat-obatan anti virus dapat membantu dalam menyembuhkan infeksi tersebut," katanya.
Sementara pencegahan pada unggas, tambahnya, peternak dapat menghindari sentuhan langsung, baik hidup atau mati. Bila sudah menyentuh, maka hendaknya segera mencuci tangan dengan sabun hingga bersih. Bila hendak mengkonsumsi, maka masaklah unggas dan produk telur sampai matang.
Begitu pula pada lingkungan yang terindikasi tersebar virus tersebut. Penggunaan masker bisa mencegah penularan penyakit itu secara langsung. Ketahanan tubuh bisa membantu pencegahan infeksi, termasuk influenza ini.*
0 komentar:
Posting Komentar