Hubungi Kami | Tentang Kami | Disclaimer

Rabu, 12 Oktober 2011

Oktober, Meretas "Sang Pelita" Hati

CEKAU.COM - BUKAN keprihatinan itu yang menyebabkan ia telaah. Apa yang ia sadari, tiba-tiba, menjadi sebuah petuah dalam hidupnya. "Adalah negeri kita di ujung itu: pesisir". Keprihatinan seperti halnya kebanggaan, juga kecemasan.

Sama halnya optimisme. Semua itu pertanda rasa ikut memiliki dan rasa terpanggil. Begitulah kira-kira petuah uwak (ayahku), sepuluh tahun silam kepada ku. Ia memaparkan dengan lugas, tegas dan sedikit gurau dalam tindakannya. Tapi, kini, sebelas tahun pula kata-kata itu sudah lama tak ku simak lagi.
Belum lagi, secuil mungil kisahku bersama 'sang pelita' keluargaku. Dari belajar mendayung, menjaring, menjala, hingga mengajari aku berenang di tepian sungai Siak yang terbilang terdalam se- Indonesia.

Eh, maaf, soal berenang, orangtuaku hanya mengajari sebentar. Tapi, aku bisa berenang karena belajar bersama teman-teman SD, ketika cabut sekolah. Inilah kenakalanku saat duduk di kelas III SD. Nantilah, aku ceritakan, gimana aku bisa berenang di air yang berwarna hitam (dulu), coklat (sekarang).

Uwakku memang anak pesisir di kota kecil sebuah Kabupaten Siak Sri Indrapura-Riau. Ia mengajariku banyak hal. Pentingnya alam, bagi kehidupan. Dan, siasat akan kecerdasan akal manusia dalam situasi apapun. Dalam hidup ia adalah seorang optimisme. Langkahnya yang tegap menunjukkan keyakinan diri dalam bertindak. Ia memang seorang veteran tahun 45 (tapi, ia tak mau mengurus duit jatah dari pemerintah). Inilah yang tidak aku tahu.

"Cahaya" ku ternyata bisa bicara tentang filsafat hidup. Dia menyebut tentang hakikat hidup. Ada semangat ia tiupkan ke aku, ketika aku merantau untuk melanjutkan ke jenjang SMP ke Jakarta. Memang, ia hidup dalam sebuah masyarakat yang madani dan praktis dalam kekeluargaan yang harmonis. Ia juga bercerita bagaimana keyakinan dapat mengapai impian dengan sukses, lantaran tahan merangkak dari bawah secara habis-habisan.

Dari semangat hidupnya, tersemat kesederhanaan. Mesti ia bergelimang harta, ketika bekerja di Caltex, sekarang Chevron, perusahaan minyak ternama. Ketika rezeki berlimpah itulah, banyak pula anak angkat yang dipeliharanya. Tapi, apa yang ia dapat di hari tua? Hanya Allah yang tahu.

Tapi, ia tak menyesali. Sebagaimana ia membentuk dirinya sendiri, dari masyarakat yang dikenal mandiri dan kuat. Makhluk yang tidak suka berleha-leha dan berfoya-foya. Lelaki perokok tapi haram akan mabuk. Suka sport dan bekerja mati-matian demi keluarga.

Ia memang melihat pengalaman hidup dengan cermat, sehingga perbedaan-perbedaan setiap sisi kehidupan memberikan jalan terang baginya. Bahwa ada yang harus diperbuat untuk sebuah pengalaman hidup di wilayah pesisir. Ia memang tak mudah beranjak dari asalnya. Tribute to H Mahmud Yahya. *


~ 1 komentar ~

  1. keindahan kata-kata, terlihat ketika merangkai satu kata ke kata yg laen. saluut

    BalasHapus

Prev Post Next Post Home