Hubungi Kami | Tentang Kami | Disclaimer

Rabu, 16 Januari 2013

Tugu - tugu Riau Terusik oleh Rupa dan Nama


Tugu - tugu Riau
CEKAU.COM-Ada apa dibalik pembangunan tugu - tugu di Riau? Yang jelas, hasil investigasi dan observasi redaksi cekau.com, bahwa pembangunan tugu - tugu yang ada di Riau, khususnya yang berada di Kota Pekanbaru sebagai ibukota tersebut selalu terusik oleh rupa dan nama. Inilah 'kegagalan' pemerintah yang tidak melibatkan berbagai pihak terkait pembangunan tugu tersebut. Baik dari tokoh masyarakat, tokoh budaya, maupun tokoh seni melayu di Riau ini. Apalagi, pembangunan tugu terkait masalah adat dan budaya melayu Riau. Terkesan pembangunan tugu di Riau, tidak dikerjakan oleh ahlinya. Asal jadi dan 'mandai-mandai (sok pandai). Hasilnya, wah, berbagai sindiran dan ejekan selalu terucap ketika masyarakat melihatnya. Ada yang salah atau memang "bermasalah"?

Tugu-tugu "Bermasalah" yang ada di Riau:

1. Tugu Titik Nol Pekanbaru (Tugu Zapin atau tugu Tari atau tugu Bahenol)

Tugu titik nol Pekanbaru yang berdiri tegak di depan Kantor Gubernur Riau, persimpangan Jalan Sudirman dan Gajah Mada, Kota Pekanbaru, Provinsi Riau itu sebagai pengganti Tugu Pesawat, yang berdiri sejak tahun 80-an. Terlihat, para penari bermain di atas ombak dengan tangan lelaki barada di atas bahu. Sementara penari perempuan posisi lengan terbuka. Ini sudah menyalahi bentuk dan ragam tarian Melayu yang dianjurkan. 

Pematung kelas dunia, I Nyoman Nuarta, mungkin tak bisa disalahkan. Karena karya besar seniman asal Bali ini, sudah menjewantahkan pemikiran dan waktunya pada sebuah karya yang telah dikonsep oleh pemerintah. Atau setidaknya, sketsa patung sudah dirancang oleh pemahat dan diperlihatkan lalu disetujui oleh pemerintah sendiri. Malah, dengan biaya luar biasa mencapai Rp5 miliar, tugu itu mampu menyedot APBD Riau 2011. Namun, akhirnya berubah sedikit saat penandatanganan kontrak kerja menjadi Rp4,497 miliar. Wah, hanya secuil yang dipotong untuk diserahkan ke kas negara, Rp3 juta.

Pembangunan tugu titik nol Pekanbaru (versi pemerintah) yang dulu disebut Tugu Zapin (versi masyarakat Riau, karena bentuknya seperti orang menari), menuai polemik yang tidak berkesudahhan. Bahkan ada pula menilai tugu ini dengan menyebut Tugu Tari. Wah..wah.., belum lagi nama tugu itu sempat menjadi cibiran dengan sebutan tugu 'Bahenol' Pekanbaru. Nah, nama-nama itu membuat tugu ini menjadi ejekan masyarakat. Ketika polemik ini mengaung, pemerintah pun dengan cepat menyebut tugu itu dengan nama tugu titik nol Pekanbaru. Padahal tugu titik nol Pekanbaru sudah ada, yaitu terletak di Gudang PT Pelindo I Pekanbaru di dekat Pasar Bawah. Tak heran bila ada pula yang menyebut tugu ini Tugu Titik Nol Pekanbaru ke 2. Hmmm...?

Mungkin merasa 'tertekan' oleh desakan masyarakat, maka pemerintah pun dengan cepat menyebut tugu itu tugu titik nol kilometer Pekanbaru. Namun tugu Riau ini jelas membikin resah masyarakat. Pasalnya, bentuk patung pun menjadi unik. Karena yang menjadi pertanyaan masyarakat adalah: Apa hubungan tugu titik nol kilometer Pekanbaru dengan patung berbentuk dua orang yang sedang menari (satu patung lelaki dan satu lagi patung perempuan melayu). Uniknya, patung perempuan, dipoles dengan bentuk (maaf) 'bokong' perempuan yang terlihat belahannya mengarah ke depan Kantor Gubernur Riau. Inilah alasan masyarakat tugu itu disebut dengan tugu 'bahenol' Pekanbaru

2. Tugu Keris Riau

Nah, tugu keris Riau ini juga membikin risau masyarakat Riau. Sebut saja tugu yang berbentuk keris dengan sarungnya, sebagai simbol adat melayu. Namun, tugu keris Riau yang terletak di persimpangan Jalan Diponegoro dan Jalan Pattimura, Pekanbaru itu, dinilai salah penempatannya. Pemerintah mendesain tugu keris Riau ini dengan memasang terbalik (Keris didesain menancap ke tanah. Seharusnya tugu keris Riau itu dipasang mengarah ke atas, ujung keris yang runcing mengarah ke langit. Ini menyangkut simbol adat arti dari keris tersebut. 
Inilah bentuk tugu-tugu Riau "bermasalah"
Artinya jelas berbeda. Jika keris dipasang menghujam ke tanah atau bumi, maka artinya kekalahan, yaitu menyerah kepada musuh. Sementara jika keris mengarah ke atas atau menghunus ke langit, maka menandakan kemenangan. Ini sudah dilakukan semenjak dulu, dan diingatkan oleh tetua-tetua dulu, bahwa ketika Panglima Melayu Laksamana Hang Tuah usai melawan atau membunuh musuh, ia pun mengarahkan keris ke atas. Artinya melayu tak hilang di bumi. Sedangkan bila keris menghujam ke tanah, atau bumi, maka inilah tanda kekalahan. Keris yang terkenal dimiliki Hang Tuah adalah Tameng Sari. Nama orang yang telah dihunus Hang Tuah berasal dari Jawa Dwipa bernama Tameng Sari.

Petuah adat melayu ini memang sederhana. Tetapi memiliki arti yang sangat besar. Jika salah menempatan, dan bentuk yang melanggar adat, alamat kapal akan tenggelam. Jadi pemerintah jangan 'berpandai-pandai' (sesuka hati) bila menyangkut adat melayu Riau. Bila takut nanti disebut tak 'beradat' alias tidak memiliki etika dan sopan santun yang digariskan tetua-tetua melayu.

3. Tugu Selamat Datang

Nah, tugu Selamat Datang di Riau ini, pemerintah mengilustrasikan seorang perempuan berpakaian melayu (labu) yang sedang membawa tepak sirih yang tentunya berisi daun sirih. Tugu selamat datang Riau ini juga berpolemik. Masyarakat Riau menilai tugu selamat datang disebut Tugu Janda. Karena menilai tugu yang dibuat hanya seorang perempuan.

Tugu yang dibuat di zaman Walikota Pekanbaru H Herman Abdulah ini tidak mencerminkan adat resam melayu Riau. Apalagi adat dan budaya melayu sudah mengisyaratkan jauh-jauh hari, terkait etika dan bentuk ragam melayu Riau. Dalam ragam budaya adat melayu, baik dalam acara maupun petuah hidup, sudah lama disampaikan. Sebut saja, bila ada acara penyambutan tamu, maka dua orang (lelaki dan perempuan) menyambut dengan hangat dan ramah. Simbol adanya pasangan ini sebagai syarat utama, yang harus dibuat. Apalagi tepak sirih (tempat sirih yang berbentuk trapesium) itu sebagai simbol penyambutan tamu kehormatan. 

Tugu Selamat Datang Riau, yang terletak di Jalan Sukarno-Hatta (Arengka I), Pekanbaru ini sebenarnya sudah lama diprotes bentuk dan rupanya. Sebut saja, pernah sekali pembangunan tugu tersebut diubah. Hanya saja, pemerintah hanya memugar bentuk pondasi karena dinilai sudah menganggu pemandangan dan mengusik lalu lintas. Sementara bentuk rupa tugu hingga kini belum mendapat perhatian Pemerintah Kota Pekanbaru.

4. Tugu Demokrasi Riau

Tugu Demokrasi Riau inilah banyak orang menyebut tugu yang terletak di Jalan Sudirman, Pekanbaru, tepatnya di depan Gedung Pustaka Suman HS. Tugu Demokrasi Riau? Ya jika ini benar, maka Riau termasuk berani, Pasalnya tugu ini dinilai memiliki keunikan dalam sejarah kebangkitan demokrasi dan politik di Riau. Tugu Demokrasi Riau secara desain bisa saja dirancang sesuai keinginan pemerintah maupun hasil final sketsa si perancang. Bentuk tugu demokrasi Riau, ini memang tidak ada perdebatan terkait rupanya. Namun, yang menjadi persoalan adalah ketika tugu ini dibuat terlalu kecil dan letaknya tersembunyi. Ini bisa saja menunjukkan demokrasi di Riau 'dikebiri'. 

Ini dibuktikan dengan latar belakang pembangunan tugu Demokrasi Riau tersebut. Adalah seorang Tokoh Masyarakat Riau, bernama H Ismail Suko, 'dikalahkan' atas nama kekuasaan pemerintah Ri di Jakarta, pada saat pemilihan Gubernur Riau, tahun 1980-an yang masih dipilih oleh DPRD Riau. Namun, tetap saja, hasil keputusan DPRD Riau 'ditekan' oleh Departemen Dalam Negeri dalam hal ini Menteri Dalam Negeri saat itu. 

Padahal, pada pemilihan gubernur Riau saat itu, Ismail Suko menang tipis melawan saingannya H Imam Munandar. Tapi, karena Riau masih 'dijajah' pusat, maka kehendak masyarakat Riau terpaksa disingkirkan atas nama keamanan negara. Aneh, memang! Tapi inilah bukti nyata kasus demokrasi Riau yang terbelenggu. Jadi wajar, ide pembangunan tugu demokrasi Riau dibangun. Hanya saja, ketika terlihat hasilnya, di depan Gedung Perpustakaan nasional yang termegah di Indonesia itu, tetap saja demokrasi Riau, terbelenggu. Pasalnya, tugu terlihat tersembunyi seperti 'takut'. 

Namun sayang mengapa ide ini baru ada? Mengapa tidak zaman Gubernur Riau H Soeripto, yang menggantikan Imam Munandar atau ketika era Gubernur Riau H Saleh Djasit dulu. Mungkin ada pilihan. Tapi ketika Soeripto memipin Riau selama dua periode, mungkin wajar tidak membangunnya. Karena memang ia berasal dari tanah dwipa dan berasal dari TNI. Sementara Saleh Djasit apa yang dilakukannya? Padahal dia sekampung dengan Ismail Suko, meski istrinya berasal dari Tanah Minang. Mengapa tugu demokrasi itu baru ada setelah era Rusli Zainal?

Ya, ada yang menilai, kisah sedih dan suka cita demokrasi yang dialami Ismail Suko itu ternyata mertua Gubernur Riau, HM Rusli Zainal MP. Ismail Suko adalah orang tua Istri Rusli Zainal yang sah. Tapi, tak apalah, yang penting kita kembali ke niat, bahwa siapa lagi yang peduli untuk embangun Riau ini. Sejak zaman Gubernur Riau Rusli Zainal inilah, semua bentuk perubahan pembangunan infrastruktur di Riau semakin menjadi-jadi. Luar biasa, dan mendapat sambutan dari masyarakat Riau.

Sepak terjang Rusli inilah membuat nama Riau semakin dikenal di kancah Nusantara, negeri Jiran bahkan internasional. Namun, sayang, tidak semua menyukainya. Rusli berkorban demi Riau, jika terpaksa ia harus di penjara. Ini sudah disampaikannya, bahwa ia rela di penjara demi Riau.

5. Tugu Kain Songket Riau

Tugu Kain Songket Riau yang terletak di Jalan Tuanku Tambusai Ujung dan Jalan Arengka II, Pekanbaru ini bisa diacungkan jempol. Pasalnya, kain songket yang mencirikan keunikan desain kain tradisonal milik melayu itu, seharusnya sejak dulu dibangun dalam bentuk tugu. Mesti kain songket bukan milik siapa-siapa. Tetapi Riau bisa juga mengakui kain songket milik Riau, namun memiliki ciri khas yang berbeda-beda dengan daerah lain.

Hanya saja, pembangunan tugu kain songket ini ternyata masih menyisakan polemik. Sebut saja tugu kain songket dibangun di saat Walikota Pekanbaru Drs H Herman Abdullah MM, itu ternyata dibangun setelah mendapat penghargaan dari MURI (Museum Rekor Indonesia) terkait kain songket yang buat sepanjang 90 meter. Katanya, kain songket Riau ini dibuat terpanjang di Indonesia. Alasan itu pula MURI memberikan penghargaan kepada Evie Mairoza, ternyata juga istri Walikota Herman Abdullah. 

Ah, ini biasa. Jika seorang istri pejabat mendapatkan gelar atau pangkat atau jabatan dan kedudukan dalam suatu negara yang bernama Indonesia. Terlepas siapa yang memberikan ide membuat kain songket sepanjang itu, namun menjadi tanda tanya besar bahwa kain songket Riau yang dibuat ternyata tidak dibuat satu kain. Artinya, kain songket dibuat dengan desain unik namun disambung menjadi sepanjang 90 meter. Nah? Inilah persoalannya. Seharusnya, bila ingin mendapat penghargaan, kain songket tersebut ditenun (proses pembuatan ukiran motif dengan alat pemintal kain) dengan satu kain dengan panjang 90 meter. Kain sepanjang itu sama dengan satu bal (satu gulung kain). Pemberian gelar dari MURI pun dipertanyaan semua pihak?

Sementara untuk desain dan bentuk motif ukiran pada kain tenun tidak menjadi permasalahan. Inilah ciri khas melayu Riau.

6. Tugu Ikan Selais Riau

Tugu Ikan Selais yang terletak di Jalan Sudirman, persisnya berada di depan Kantor Walikota Pekanbaru dibangun era Walikota Pekanbaru Drs H Herman Abdullah MM. Tugu Selais ini fenomenal, yang melatarbelakangi riwayat jenis ikan di Riau yang kini mulai punah ranah. Cinta lingkungan dengan mensosialisaiskan keanekaragaman hayati (Kehati) ini dibangun dalam bentuk tugu mendapat decak kagum bagi masyarakat Riau.

Kesuksesan Herman Abdullah memimpin Pekanbaru membuat dirinya mencoba bertarung politik untuk mencalonkan diri menjadi Gubernur Riau periode 2013 - 2018. Ternyata Herman Abdullah terlahir dari pasangan ayah berasal dari daerah Pangakalan Sumatera Barat dan Ibu dari Kabupaten Kampar, Riau, yang sudah menjabat menjadi walikota Pekanbaru selama dua periode.

Hanya saja, tugu yang diberi nama Tugu Ikan Selais itu, seharusnya mirip dengan ikan yang sebenarnya. Tapi, bila dilihat dari dekat, maka terjawabnya sebuah keanehan. Sebut saja, tugu ikan selain yang terbuat dari perunggu dan didesain seorang pemahat asal pulau Jawa itu memiliki misai (sungut atau kumis) yang agak panjang. Berati si pamahat tidak mengenal bentuk ikan selais yang sebenarnya.

Jadi, tugu ikan selais yang kini terlihat, lebih tepatnya orang melayu menyebut Tugu Ikan Keli atau bahasa Minang disebut Tugu Ikan Limbat alias Tugu Ikan Lele. "Haa.. haaa.. ini tugu ikan Keli. Inilah masalahnya, jika ilmu tidak ditempatkan ke pangkalnya. Seharusnya pemahat dan pemerintah harus jeli jika membangun tugu yang menggambarkan bentuk benda, hewan atau orang maupun tumbuh-tumbuhan. Jadi jangan asal buat saja," kata Datuk Annas Aismana, Pengurus Harian Bidang Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau kepada cekau.com.

Tugu 'Bermasalah'

Dimata kalangan orang Melayu Riau, justru menilai tugu yang ada di Riau saat ini terusik oleh rupa dan tak sesuai dengan makna dari setiap tugu yang dibangun alias tak sedap dipandang mata dan menyalahi etika adat melayu yang dikenal selama ini.

"Bukan menyalahkan seorang pemahat atau pematung, namun sebuah karya akan terlahir bila ada masukan berupa referensi yang diterima olehnya. Nah, sekarang siapa yang memberikan referensi soal desain dan nama tugu-tugu Riau itu," kata Datuk Meiko Sopyan, Pengurus Harian Bidang Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau, Pekanbaru kepada redaksi cekau.com.

Pria yang disapa Datuk itu, tidak mempersoalkan tugu yang diilustrasikan sebagai bentuk orang atau benda dan tumbuh-tumbuhan. Hanya saja, bila objek yang diusung tentang budaya melayu melalui dari berbagai bentuk dan rupa, seharusnya lebih mengedepankan etika dan adat daerah setempat. Jadi jangan terkesan, bentuk tugu mewakili provinsi tetangga, dan yang menyetujui tidak tahu adat melayu Riau.

Ini juga disesalkan Pengamat Seni Tari Melayu Riau, Razali Sabirin yang juga mantan ketua pelaksana pada acara festival pegelaran tari Zapin se-Sumatera pada massa pengenalan tari zapin untuk masyarakat melayu pada 90-an. Ia pun tergelitik mendengar karakteristik tari zapin seperti diilustrasi pada tugu tersebut.

"Ha.. ha.., sayo jugo bingung, kalau betul tugu itu bernama Zapin, siapa pulak yang menyampaikan kepada si pemahat bahwa gaya dan gerak tari Zapin seperti itu?" ucap Razali, mengaku tergelitik mendengar tugu itu bernama Tari Zapin.

Lelaki yang pernah bekerja di Dinas Kebudayaan Seni dan Pariwisata Provinsi Riau, itu juga menjelaskan, bahwa tidak banyak masyarakat apalagi Riau mengenal tarian zapin sesungguhnya. Meskipun mengenal nama, namun bagaimana menarikan tarian tersebut, sesuai aslinya tidak banyak yang tahu. Apalagi tari zapin bukan ditunjukan dengan gerak asal-asalan. 

Encik Zulkifli ZA, Ketua Bidang Budaya Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau  pun menilai tugu Riau seperti tugu Zapin seakan-seakan para penari bermain di atas ombak. Padahal, yang berkembang di masyarakat, tari itu dilakukan di tanah atau di ruangan dan tempat terhormat. Inipun harus terlihat laki dengan laki dengan gerak tangan di bawah bahu sementara penari perempuan tidak dalam posisi ketiak terbuka (naik).

Akhirnya banyak pihak meminta agar penggunaan nama tugu - tugu Riau harus diubah. Paling tidak, ini sebuah solusi ketimbang harus menganggarkan lagi uang rakyat hanya untuk merubah model tugu yang dinilai tak beradat. Ada juga sejumlah tugu memang harus dipoles atau diubah total.

Ini bukan pilihan, tapi setidaknya ini sebuah pengalaman. Pemerintah (sebenarnya) tahu dan mengerti, bahwa kebijakan publik harus melibatkan semua lapisan masyarakat terutama tokoh budaya, terkait pembangunan tugu ini. Kalau tak mau di demo oleh sejumlah kalangan, pemuda, tokoh masyarakat melayu, maupun  pemerhari seni dan budaya Riau. Nah, dengan berimpit lutut, makan sehidangan, siapa tahu ada jalan terbaik.

Kritikan dan saran yang membangun kami harapkan. Semoga informasi ini bermanfaat dan menambah referensi anda tentang Riau.*


~ 1 komentar ~

  1. ini masalahnya, pemerintah selalu tidak melibatkan tokoh adat dan tokoh masyarakat. Maka inilah akhirnya? Biasa ada proyek. hee. hee.. (elmustian,sis)

    BalasHapus

Prev Post Next Post Home