Hubungi Kami | Tentang Kami | Disclaimer

Kamis, 31 Januari 2013

Di Bawah Terik Mentari, Air Bersih pun Dinanti

Krisis Air Bersih di Riau
CEKAU.COM-Rasa takut warga yang tinggal di wilayah pesisir Provinsi Riau, untuk mengkonsumsi air berwarna hitam dan kotor, bukan hal baru lagi. Ini sudah lama terjadi, namun warga masih berharap pada air artesis sumur bor milik gedung pemerintah. Meski harus antre berpanas-panas di terik mentari. Aasan inilah membuat Iman memberikan jasanya membantu warga.

Paras Iman, 19 tahun, semakin legam saja. Maklum, sejak lajang ini berprofesi menerima upah dari jasa pengambilan air bersih, saat itulah kulitnya berubah warna. Padahal sebelumnya, lelaki tamatan Sekolah Dasar (SD) ini, kulitnya tidaklah sehitam sekarang. Mesti dulu, memang tidak begitu putih.

"Ha..ha.. iya-iya, sejak saya mengambil air bersih di siang hari untuk warga, sejak itulah wajah dan kulit ini menjadi legam. Kalau mengambil malam hari mungkin kulit ini tidak sehitam sekarang. Hanya saja kita harus antrean panjang," sebutnya dengan gelak tawa lepas.

Iman yang tinggal di Jalan Baung Perumnas Rumbai, Pekanbaru ini menyebutkan bahwa kondisi air di kawasan perumahan tempat tinggalnya, tidaklah begitu bersih. Selain air berwarna hitam kecoklatan, airnya pun tidak layak diminum. Masalah ini sudah lama terjadi. Padahal air yang didapat berasal dari ledeng Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Siak. Akhirnya warga terpaksa mencari air bersih melalui sumur bor yang airnya keluar sendiri (artesis) untuk kebutuhan minum.

"Nah, alasan inilah saya berinisiatif membantu warga untuk mengambil air bersih di setiap rumah warga yang memiliki sumur bor artesis atau ke kantor-kantor pemerintah. Lumayan jaraknya sangat jauh, sekitar 1 Kilometer," terangnya.

Atas jasanya itu, Iman menerima upah sebesar Rp1.500 per galon yang berukuran 25 liter, bahkan ada pula memberi lebih. Upah itu memang tidak dipatok oleh Iman. Pasalnya, niat untuk membantu tetangga tersebut menjadi alasan kuat baginya. Malah, pengambilan air bersih itu dilakukan saat ia mencari air untuk kebutuhan orangtuanya.

"Kalau masalah upah, saya tidak memaksa, karena saya hanya membantu saja. Kebetulan saya mengambil air untuk kebutuhan orangtua. Kasihan warga harus mencari air bersih dengan jarak yang jauh," sebutnya.

Sementara keberadaan sumur bor yang airnya keluar sendiri ini, kata Iman, jumlahnya bisa dihitung. Di Rumbai Pesisir, di perumahan tempat tingalnya, hanya ada empat titik. Namun yang masih bertahan air yang keluar sendiri tinggal dua. Itupun airnya tidak sekencang setahun lalu. Banyak yang sudah mati alias tinggal setetes saja. Malah, dua titik sumur bor ini pun selalu dikunjungi warga. Tak pelak lagi, Iman pun ikut antre.

"Sejak setahun lalu, air di dua titik sumur bor ini mulai berkurang. Satu di Jalan Belanak VII, dekat Masjid As-Sakinah, dan satunya lagi di Jalan Nila dekat Gedung Rumah Sakit Bersalin. Sementara yang sudah mati, berada di Jalan Gurami dan Jalan Udang, Perumnas Rumbai. Padahal dulunya, keempat sumur bor menjadi harapan warga untuk konsumsi," jelas lelaki yang memiliki kekurangan fisik pada mata.

Nah, karena sumur bor tinggal dua titik, maka tak pelak lagi warga terpaksa berjejer menunggu giliran. Apalagi malam hari, warga lebih memilih waktu gelap, karena tidak mau berpanas-panas di bawah terik matahari. Sedangkan siang hari, jumlah antrean agak berkurang. Ada yang mengambil air cukup dengan dua jerigen besar berukuran 25 liter, tak sedikit pula membawa empat galon air sekaligus dengan memakai gerobak dorong berulang kali. Malah, bila dini hari, ada juga warga mengambil dengan dibantu satu unit mobil pick up.

"Pokoknya, warga antre mengambil air bersih ini. Tapi, kalau siang jumlah tidak seramai malam hari. Makanya saya mengambil siang, biar pun kulit bertambah hitam. He..he," katanya sembari gelak dan tersenyum.

Sementara warga yang tinggal dekat dengan lokasi sumur bor itu, selain mengambil air, justru memanfaatkannya untuk mencuci. Uniknya, ketika subuh hari, banyak pula memboyong anak mereka untuk mandi. Malah, bila ada kesempatan, orangtua pun ikut pula. "Maklum, air bor itu panas. Jadi jangankan mencuci, warga sekitar lokasi sumur itu pun kadang mandi di subuh hari. Mesti di alam terbuka. Ha..ha.. ha," kata Iman, yang justru lebih memilih mengambil air pada siang hari.

Iman bukan tidak mau mencari pekerjaan lain-yang dinilai banyak orang, sebuah pekerjaan yang sulit dilakoni seorang remaja. Tetapi ia paham betul, status pendidikan disandangnya menjadi beban berat baginya. Alasan itulah, ia tetap berusaha mencari pekerjaan lain, mesti sudah empat tahun, belum jua didapat. Mesti demikian, Iman tidak malu melakoni pekerjaannya itu.

"Ya, memang kawan saya bilang pekerjaan ini memalukan. Bukan tak malu juga, tetapi bagaimana lagi, saya hanya lulusan SD. Tentunya cuma ini yang bisa saya kerjakan. Yang penting halal, bang," sebut remaja ini, uang yang diterimanya kadang dikumpulkan dan diberikan ke orangtua.

Remaja yang tidak perokok ini, ternyata juga pandai membaca alam. Bukan saja ia bisa melihat peluang, ketika kebutuhan air bersih menjadi harapan seluruh warga di kampungnya. Tetapi juga membantu di saat warga memang membutuhkan bantuannya. Apalagi warga yang sudah berusia tua, lebih banyak menjadi pelanggan tetap Iman.

Ini diakui Ramlah, warga Perumnas Rumbai yang selalu menggunakan jasa Iman. Dalam sehari, ia membutuhkan air dua air galon untuk kebutuhan keluarganya. Air itu dimanfaatkan untuk minum dan memasak makanan dan sayuran. Sementara, air ledeng PDAM yang sudah lama menjadi konsumen, tidak bisa ia andalkan untuk dikonsumsi. Selain air berwarna keruh juga kotor. Apalagi keempat anaknya masih kecil-kecil.

"Mencari air bersih untuk minum dan memasak sangat sulit di Rumbai ini. Kalau beli air isi ulang, kami tak ada biaya, sementara menharapkan air ledeng, airnya keruh dan kotor. Itupun keluarnya sangat kecil. Sejak Iman mengambil air bersih, maka ini sangat membantu keluarga saya," katanya.

Hal ini yang sama juga diakui Eri Irawan, yang tinggal di Perumnas Rumbai. Ayah dua anak ini tidak bisa mengelak bantuan yang ditawarkan Iman. Pasalnya, kesibukan ia bekerja, tak mampu ia mengambil air bersih yang jaraknya sekitar 500 meter dari rumahnya. Dalam sehari, untuk konsumsi minum dan memasak, ia hanya membutuhkan satu galon air saja. Tapi ini pun, sang istri bisa menghemat, jika hujan turun dan airnya bisa ditampung untuk mencuci.

"Saya terbantu dengan jasa Iman ini. Istri saya cukup minta air satu galon saja, untuk memasak dan minum. Tetapi kalau hujan turun kami menampungnya untuk mencuci. Sebaliknya, jika hujan tidak turun, maka untuk membilas kain, terpaksa kami menambah dua galon air lagi sama Iman," kata Eri, yang kini bekerja sebagai sales obat-obatan di Kota Pekanbaru.

Krisis Dunia
Krisis air bersih ini bukan saja dialami warga Perumnas Rumbai. Tetapi juga menjadi perhatian dunia. Apalagi wilayah pesisir selalu dihadapi persoalan tersebut. Pemerintah pun mengakui bahwa kebutuhan air bersih memang menjadi perhatian dunia saat ini. Malah hanya 52 persen masyarakat Indonesia yang dapat mengakses ketersediaan air bersih. Jumlah tersebut masih jauh dari target Millenium Development Goals (MDGs) 2015.

"Untuk mencapai target MDGs setidaknya 68 persen masyarakat Indonesia pada 2015 harus bisa mengakses air bersih," kata Djoko, saat peresmian instalasi pengolahan air PT Aetra Tangerang, beberapa waktu lalu.

Sulitnya mendapatkan air bersih ini, menurut pemerintah adalah persoalan anggaran penyediaan air bersih. Dana yang dibutuhkan untuk mencapai target MDGs adalah Rp 65 triliun. Sejauh ini pemerintah pusat hanya bisa menanggung Rp 37 triliun. Untuk itu pemerintah mengimbau, agar daerah terlibat dengan membangun kemitraan untuk mencapai program tersebut.

Sementara, Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (Perpamsi) juga pesimistis, bahwa target MDGs pada 2015 tercapai. Apalagi target pelayanan air bersih ini harus tercapai sebesar 68,87 persen. Hal ini terindikasi dari minimnya kemauan politik (political will) pemerintah untuk mempercepat pengembangan pelayanan air minum.

Ini juga diakui Plt Direktur Utama PDAM Tirta Siak Pekanbaru, Edwin Supradana, bahwa berbagai masalah masih menjadi kendala bagi kegiatan investasi di sektor penyediaan air minum ini. Kendala itu dirasakan oleh perusahaan jasa layanan air minum baik yang dikelola oleh PDAM maupun swasta.

"Saya kira masih banyak kendala dalam pencapaian target layanan air minum. Kendala itu antara lain adalah investasi yang besar, tarif layanan rendah, komitmen bersama membangun dan mengelola air bersih dan tingkat kebocoran yang tinggi," terang Edwin kepada cekau.com di Pekanbaru.

Edwin pun mengakui, bahwa kebutuhan warga Pekanbaru terhadap air bersih sangat besar. Jumlah ini selalu meningkat saban tahun hingga Januari 2013 mencapai 6-8 persen. Sementara kebutuhan air yang harus disediakan PDAM saat ini kurang lebih 600.000 meter kubik setiap hari. Untuk itu saat ini PDAM pun akan membatasi jumlah pelanggan, sebelum fasilitas dan sarana pendukung, seperti pompa teratasi.

"Kami tidak mau pelanggan lebih kecewa lagi. Karena kondisi air memang tidak steril. Apalagi keenam pompa PDAM saat ini mengalami uzur dan rusak. Mudah-mudahan, kedepan kita akan meningkatkan kualitas air agar lebih baik lagi," sebutnya.

Sulitnya mendapatkan air bersih di wilayah pesisir bukan saja dikeluhkan warga Perumnas Rumbai, Pekanbaru, atau masyarakat yang ada di sepanjang wilayah pesisir di Indonesia ini, tetapi juga menjadi bagian agenda Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sidang tingkat tinggi ke-65 terkait MDGs (High-Level Plenary Meeting/HPLM on MDGs) yang berlangsung di New York, USA, pada 20-22 September 2010.

Demikian ditegaskan Dr Pareng Rengi, Pemerhati Wilayah Pesisir Riau. Tambahnya, seluruh anggota PBB, termasuk Indonesia mengikuti pertemuan yang membahas pengalaman sukses dalam pencapaian target-target MDGs tersebut. Termasuk membahas tantangan, kendala, rencana dan strategi akselesari pencapaian kedepan, serta dukungan peningkatan pembiayaan, serta kerjasama antarnegara terutama kerjasama selatan-selatan.

"Ini masalah dunia. Kelestarian lingkungan hidup tentang upaya pembangunan berkelanjutan dan biodiversity serta kaitannya dengan pencapaian berbagai tujuan MDGs lainnya, adalah hal mendesak. Makanya, kebutuhan air bersih ini sebenarnya tugas utama pemerintah. Jika ini tidak tercapai, tentu saja Indonesia akan menerima konsekwensinya," jelasnya.

Pareng menambahkan, yang terpenting adalah jika benar kemiskinan menjadi alasan rusaknya lingkungan, tentunya akan memicu berbagai persoalan sosial yang sangat rumit. Setidaknya, butuh evaluasi terhadap program pengelolaan air bersih jangka panjang bagi khalayak ramai di negeri ini. "Untuk itu, program krisis air bersih ini dinilai sangat relevan jika dikaitkan dengan agenda penyelesaian pemenuhan kebutuhan dasar, sehingga hak atas air bersih, manusia, dan ekosistem akan tercapai," pungkasnya.*


0 komentar:

Posting Komentar

Prev Post Next Post Home