Hubungi Kami | Tentang Kami | Disclaimer

Senin, 29 April 2013

Siswa Hamil Berhak Ikuti Ujian Nasional, Wow Keren?


CEKAU.COM-Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta sekolah mengizinkan anak hamil dan bermasalah hukum tetap diikutkan dalam Ujian Nasional (UN). Pasalnya, pemerintah memiliki kewajiban untuk membina anak bangsa tanpa terkecuali termasuk yang sedang menjalani proses hukum. Ini juga berlaku bagi siswa yang terjerat kasus pencurian, hamil, terlibat narkoba dan beberapa kasus lainnya. 

Kesimpulan ini terungkap ketika KPAI melakukan diskusi bertema 'Sekolah dan Dinas Pendidikan tak Berhak Larang Siswa Ikut UN' di Jakarta, belum lama ini. "Kami mengerti adanya proses hukum yang harus dijalani anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) namun, anak-anak jangan dicabut hak pendidikannya dengan tidak boleh mengikuti UN," kata Komisioner Bidang Pendidikan KPAI, Badriyah Fayumi, dalam jumpa pers kepada wartawan.

Badriyah menjelaskan, bahwa pihak sekolah dan Dinas Pendidikan memiliki kewajiban untuk membina anak bangsa tanpa terkecuali termasuk yang sedang menjalani proses hukum. Apalagi banyak larangan dari piak sekolah dan dinas terkait mensosialisasikan larangan terhadap siswa untuk mengikuti UN, karena alasan hukum. Ini juga diikuti bagi siswa yang terjerat hukum, seperti terlibat pencurian, hamil, terlibat narkoba dan beberapa kasus lainnya. 

"Ada beberapa sekolah yang memberikan solusi untuk mengizinkan anak yang bermasalah hukum untuk mengikuti UN sambil pembinaan dan pendampingan bagi anak," katanya seperti dilansir detikcom.

Solusi singkat yang dipaparkan adalah sekolah tidak boleh menggunakan otonomi sekolah untuk melarang seorang siswa untuk mengikuti UN. Diharapkan Dinas Pendidikan tidak mendukung keputusan sekolah dengan menggunakan otonomi untuk menghilangkan akses pendidikan anak-anak tersebut.

"Semuanya ada payung hukumnya. Keputusan Menteri Pendidikan juga sudah ada," tegas Badriyah.

Sementara, KPAI juga memandang UN saat ini menjadi momok bagi siswa, orangtua dan pihak sekolah dalam pelaksanaan UN. Bahkan pihak KPAI mengusulkan adanya reposisi UN agar tidak lagi menjadi satu-satunya indikator terkait evaluasi dan kelulusan seorang siswa. 

"Selalu saja orangtua, anak, guru bahkan kepala sekolah menjadi sangat tertekan terkait pelaksanaan UN tersebut. Inilah yang menjadi persoalan jika UN dinilai sebagai satu-satunya indikator evaluasi dan kelulusan siswa," sebutnya.

Untuk itu, KPAI menilai tetap menyarankan reposisi UN tidak lagi menjadi tolak ukur kelulusan seorang siswa. "Kita dari awal mengusulkan reposisi UN bukan sebagai penentu kelulusan. Tetapi harus berdasarkan multiple intelegency anak," katanya.

Dia melanjutkan, seharusnya sistem pendidikan di Indonesia juga memperhitungkan kecerdasan anak-anak di bidang lainnya. BUkan hanya terfokus pada mata pelajaran khusus yang diujikan saat ini. Sementara anak memiliki kemampuan kelebihan dan kekurangan, dalam sejumlah mata pelajaran. Nah, seharusnya, jika anak tersebut memiliki kelebihan  maka dapat diarahkan pada bidang tertentu, semetara yang lain dipaksakan untuk menekuni bidang pelajaran yang belum tentu diminati. 

"KPAI memandang, UN saat ini sarat dengan komersialisasi, dan diskriminasi antara pelajaran yang diujikan dan yang tidak diujikan dalam UN. Akibatnya anak kembali dipaksakan," nilainya.

Nah, bagaimana pendapat Anda? Silahkan argumentasikan ke kami. Terimakasih.*


~ 1 komentar ~

  1. Jadi dilematis bagi pemerintah sendiri,
    kesalahan pada "awal pendidikan"

    BalasHapus

Prev Post Next Post Home