Hubungi Kami | Tentang Kami | Disclaimer

Jumat, 16 Desember 2011

Sesal Seorang Istri (1)

 (Bagian Satu)
AIR mata Asmah tak terbendung lagi. Jatuh dengan deras di pipi putihnya yang memerah. Tangisnya menjadi-jadi, sebab suaminya, Kalang, meninggal tiba-tiba pada Jumat petang, ba'da Ashar. Dalam tangisnya itu ia menyimpan rasa sesal yang tak berkesudahan. Padahal sudah banyak pelayat yang menasehati, agar Asmah selalu sabar dan menerima atas kehendak Allah. 

Ketika hidup harus dijalani dengan kesabaran. Tak ada manusia yang abadi. Semua akan kembali kepadaNya. Begitu kira-kira pesan orangtua-tua mengingatkan Asmah, ketika melayat di rumahnya petang menjemput malam.

"Udahlah, tak perlu kau bersedih. Istighfar. Tak baik engkau menangis seperti ini. Malu kita sama yang lain," bujuk Cik Bulan, sembari mengusap pundak Asmah, ponakannya.

Cik Bulan bukanlah orang lain. Nenek berusia paruh baya ini adalah adik bungsu emaknya yang tinggal tak jauh dari rumah Asmah.  Nenek ini juga terkejut. Khabar datang dan pergi selalu diingatnya. Sebulan lalu, Ibu Asmah yang pergi. Kini, Asmah pun berduka lagi. "Inilah rahasia Allah yang sulit di ingat manusia," jelas Cik Bulan kepada Asmah.

Tapi, Asmah tetap bersikeras rasa tak percaya, bahwa kepergian sang suami begitu mengejutkan. Tak ada tanda-tanda sakit apalagi meninggalkan perangai. Seperti petunjuk orang tua-tua dahulu, bila seseorang meninggalkan alam dunia ini. Biasanya, ada tingkah polah atau tutur kata, yang tak lazim dilakukan seseorang dalam keseharian.

Memang, ingat Asmah, suaminya sempat mengeluh kepalanya sakit. Tapi itu tak berlangsung lama. Ia pandai sendiri mencari obat dalam kotak di dinding dapur. Setelah itu, sang suami pergi ke katil lalu berbaring dengan tenang di atas tilam lapuk.

"Saya menyesal Mak Cik, kenapa saya tak mengikut kata suami. Kalau saya tak pergi ke mesjid, tentu saya berada disampingnya. Tapi, mengapa ini bisa terjadi Mak Cik?" sesal Asmah, sambil memeluk nenek tua itu, kuat-kuat.

"Sudahlah. Tak perlu engkau sesali, semua sudah kehendak Allah. Banyak-banyak istighfar dan ambil hikmah atas kejadian ini. Kita hanya disuruh bersabar dan tawakal," kata Cik Bulan, sambil mengusap rambut ponakannya itu.  

Dibalik jilbab hitam yang dikenanya, nampak sesekali ia mengusap dengan tisu putih yang dikasih Cik Bulan. Sementara yang lain, tetap membaca Yasin, sambung-menyambung, dengan suara pelan, tapi tetap mengema pada ruang tamu berukuran kecil, 3x3 meter. Semua yang melayat banyak tak kebagian tempat. Apalagi rumah sewa ini, baru dihuninya tujuh bulan lalu, tak sebesar rumah sewa yang lama.

Kini, dihadapan suaminya yang terbujur kaku, Asmah tak bisa berbuat banyak. Ia hanya mampu mengusap air mata dengan lengan yang putih melepak. Tapi, air mata itu terus saja mengalir. Sulit bagi Asmah untuk menghilangkan air mata dalam waktu singkat.

"Ampunkan saya, baaaang... Mengapa saya tak mendengar cakap abang?" ucap Asmah histeris, sampai-sampai air matanya nyaris jatuh ke jasad suaminya.

Yang terjadi, bukan pasal suaminya pergi tiba-tiba, tapi ada sesuatu yang terpendam. Sebuah pengakuan yang harus ia terangkan. Entah apa. Yang jelas, ia kini meratap penuh kekesalan. Belum lagi suara tangis dan isaknya, melebihi tangisan sepasang anaknya yang duduk disisinya.

Melihat tingkah Asmah yang tak lazim itu, dua pelayat perempuan dengan sigap menarik tubuh yang mulai terlihat lunglai. Ia digapah untuk tegak, tapi tiba-tiba Asmah tak sadarkan diri. Pingsan. Melihat kejadian itu, seorang ibu meminta bantuan dua pemuda yang dari tadi melihat dari teras depan rumah. "Tolong tepikan Asmah di sudut itu," seorang ibu menunjuk sudut ruang kosong. "Tapi, pindahkan dulu dua pot bunga itu," lanjutnya.

Asmah dengan segera diangkat oleh dua pemuda, dibantu dua perempuan setengah baya, yang dari tadi memegangnya. Suasana hening. Cik Bulan dengan segera mengambil minyak angin, lalu disapukan ke hidung Asmah dengan membaca sesuatu. Alis mata Asmah pun ikut diberinya.

"Asmah, mah. Sadar?" Cik Bulan mulai memanggil, sembari menepuk lembut pipi ponakannya. "Asmah... mah, sadar?"

Pada panggilan ketiga, Asmah pun siuman, dengan mata yang tampak memerah. Ia mencoba melirik ke semua arah. Dilihatnya sang suami masih tergeletak di ruang tamu. Asmah baru sadar, bahwa ia tadi pingsan, ketika meratapi kesedihannya. Ia beranjak dan kembali duduk di samping suaminya.

Dia mencoba untuk tenang. Kalau tak ada orangtua-tua dan Cik Bulan, menenangkan dirinya, mungkin dari tadi  ia sudah menghantukkan kepala ke dinding rumah. Biar mampus sekalian.

"Sabarlah. Istighfar. Ingatlah pada Allah. Semua yang hidup pastikan mati. Tak ada yang bisa kita perbuat, selain berserah diri kepada Allah. kalau kau seperti ini terus, kasihanilah anak-anak, cuma kau harapan mereka lagi," ingat Cik Bulan, sembari memeluk Asmah.

Tenang. Surat Yasin mulai terdengar lagi. Tapi, itu tidak berlangsung lama. Tiba-tiba tangis Asmah menguat. Sempat memekak gendang telinga pelayat duduk disampingnya. Anaknya yang tua, Gadis berumur sembilan tahun hanya sedu-sedan melihat ayahnya tak bergerak di atas tilam tipis berlapis kain batik tua. Satunya lagi Jantan, masih berumur tiga tahun, belum mengerti apa-apa, hanya mengikut ibu dan kakaknya menangis.

Mengapa Asmah begitu sedih ketika ditinggal suaminya, Kalang?* (Bersambung ke Bagian Dua)


~ 1 komentar ~

Prev Post Next Post Home