Husni Thamrin |
CEKAU.COM-Sosok Husni Thamrin di mata teman sejawat adalah seniman, penyanyi, pelakon dan pencipta lagu yang banyak jasanya dalam merekonstruksi kemelayuan dalam kehidupan bermasyarakat di Provinsi Riau. Ia juga mampu merevitalisasi semangat heroisme melayu di tengah pergulatan politik kebudayaan yang makin mengglobal. Lewat tembang lagu ia telah memberikan nada yang menyentuh dan ada pula lucu.
Barangkali, dari sinilah kita dapat merenungkan kenyataan-kenyataan sebenarnya. Ketika ia bersenandung dan menoreh tinta di atas kertas. Ia tahu dari mana harus merangkai. Sebuah syair membutuhkan nada. Dan, nada berawal dari bunyi. Ia memang membentuk pikirannya dari suatu masa silam dan terkini. Penuh data dan rujukan. Untaian bait yang penuh dengan makna. Sebuah syair tercipta dengan keikhlasan. Lagunya diterima dengan baik. Rekonstruksi kemelayuannya ketara kental.
Hang Tuah, lagu yang diciptakan tahun 1988 menjadi bukti. Itulah ciptaan heroisme melayu ia torehkan cukup lama, yang dipublikasikan pada 1993. Ketika kita semua tahu, tentang kesatriaan Laksamana Hang Tuah. Ketika kita acap mendengar dari orang tua-tua dahulu, tentang legenda lima panglima Riau. Maka, Alm Husni Thamrin sudah memulai. Dengan keikhlasan, ia menorehkan bait per bait dan menjadi sebuah lagu dengan berbagai petuah dan makna.
Ia pintar menulis syair. Kata-katanya terang serta ringkas dan hidup. Ia menulis untuk waktu yang panjang. Tapi, kita belum tahu: Apakah benar, Laksamana Hang Tuah dari Bintan, Kepulauan Riau? Alasan itu pula mengapa ia mempertahankan bait syair lagu 'Hang Tuah': "Dari Bintan Kepulauan Riau…", yang diminta oleh negeri Jiran agar diubah.
Mereka berkehendak untuk membeli lagu 'Hang Tuah'. Tapi, Almarhum tetap pada prinsipnya. Nasionalisme dihatinya sudah terpatri. Ia ekstrem memang. Ia bertekad untuk hidup sesuai dengan kebenaran yang diyakininya. Bukan untuk jadi teladan, tapi sebagai dedikasi yang penuh disiplin. Disamping itu memang ada pertimbangan yang lebih sederhana, tapi penting. Ia bukan tak hendak mencari nama. Bukan pula tak hendak untuk menopang hidup. Ia jernih dalam menyusun pikiran. Ia memberikan kebebasan berpikir. "Berkaryalah kamu, jangan pikirkan orang lain menghardik karyamu". Begitu ia memberikan petuah hidup dalam menciptakan kreativitas.
Ia pun menyebut tentang sentuhan hati pada syair lagu 'Tuanku Tambusai'. Satu heroisme kemelayuan pada tahun 1989, ini terpatri sebagai semangat unsur kepahlawanan dari 'Harimau Rokan'. Inilah yang memberi semangat bagi Almarhum untuk memberikan sebuah karya yang menyentuh. Diciptakan dengan sentuhan harmoni syahdu. Begitu pula dengan Lagu “Dedap Durhaka (1975)”. Kisah seorang anak yang durhaka kepada ibunya. Ada rujukan yang menyentuh dan ditulis dengan syair yang penuh dengan petuah dan bermarwah.
Barangkali, dari sinilah kita dapat merenungkan kenyataan-kenyataan sebenarnya. Ketika ia bersenandung dan menoreh tinta di atas kertas. Ia tahu dari mana harus merangkai. Sebuah syair membutuhkan nada. Dan, nada berawal dari bunyi. Ia memang membentuk pikirannya dari suatu masa silam dan terkini. Penuh data dan rujukan. Untaian bait yang penuh dengan makna. Sebuah syair tercipta dengan keikhlasan. Lagunya diterima dengan baik. Rekonstruksi kemelayuannya ketara kental.
Hang Tuah, lagu yang diciptakan tahun 1988 menjadi bukti. Itulah ciptaan heroisme melayu ia torehkan cukup lama, yang dipublikasikan pada 1993. Ketika kita semua tahu, tentang kesatriaan Laksamana Hang Tuah. Ketika kita acap mendengar dari orang tua-tua dahulu, tentang legenda lima panglima Riau. Maka, Alm Husni Thamrin sudah memulai. Dengan keikhlasan, ia menorehkan bait per bait dan menjadi sebuah lagu dengan berbagai petuah dan makna.
Ia pintar menulis syair. Kata-katanya terang serta ringkas dan hidup. Ia menulis untuk waktu yang panjang. Tapi, kita belum tahu: Apakah benar, Laksamana Hang Tuah dari Bintan, Kepulauan Riau? Alasan itu pula mengapa ia mempertahankan bait syair lagu 'Hang Tuah': "Dari Bintan Kepulauan Riau…", yang diminta oleh negeri Jiran agar diubah.
Mereka berkehendak untuk membeli lagu 'Hang Tuah'. Tapi, Almarhum tetap pada prinsipnya. Nasionalisme dihatinya sudah terpatri. Ia ekstrem memang. Ia bertekad untuk hidup sesuai dengan kebenaran yang diyakininya. Bukan untuk jadi teladan, tapi sebagai dedikasi yang penuh disiplin. Disamping itu memang ada pertimbangan yang lebih sederhana, tapi penting. Ia bukan tak hendak mencari nama. Bukan pula tak hendak untuk menopang hidup. Ia jernih dalam menyusun pikiran. Ia memberikan kebebasan berpikir. "Berkaryalah kamu, jangan pikirkan orang lain menghardik karyamu". Begitu ia memberikan petuah hidup dalam menciptakan kreativitas.
Ia pun menyebut tentang sentuhan hati pada syair lagu 'Tuanku Tambusai'. Satu heroisme kemelayuan pada tahun 1989, ini terpatri sebagai semangat unsur kepahlawanan dari 'Harimau Rokan'. Inilah yang memberi semangat bagi Almarhum untuk memberikan sebuah karya yang menyentuh. Diciptakan dengan sentuhan harmoni syahdu. Begitu pula dengan Lagu “Dedap Durhaka (1975)”. Kisah seorang anak yang durhaka kepada ibunya. Ada rujukan yang menyentuh dan ditulis dengan syair yang penuh dengan petuah dan bermarwah.
Dalam menulis lagu, kadang ia harus mengulang komposisinya berkali-kali. Ia bersenandung ketika ia harus memulai, dengan hentakan tempo jemari tangan. Anggukan kepala mengikuti nada yang harmoni. Suatu masa ketika hendak membuat lagu, Husni Thamrin pernah ditemani anak sulungnya. “Ayah membuat lagu diawali dengan tema dan diiringi dengan bersenandung” ujar Theja Fathasena.
Banyak orang masih berharap: pencipta terbaik harus mencapai ujung terowongan. Tapi, ia agaknya tahu di akhir terowongan itu kehidupan tetap membatalkan jawaban yang paling pintar. Setidaknya, kalaupun ia merasa menemukannya, ia tak kunjung menyakinkan. Begitulah ia menganyam sebuah lagu, dan memberikan semangat heroisme kemelayuan di tanah melayu.
Ia juga banyak melucu, dan sekalipun sadar akan kepintaran dan kekayaan pengalamannya, ia bisa mewarnai percakapan dalam waktu yang panjang. Dan, memang tak jarang buah pikirannya memberikan inspirasi bagi yang lain.
Husni Thamrin juga dikenal sebagai perumus syair yang gemilang. Ia pandai menyusun kata-kata. Dan, karena itu pula ketika teman sejawat meminta rangkaian syair atau petatah-petitih, maka dalam sekejap ia mampu menuangkan alam pikirannya dalam secarik kertas. Tentunya dengan sikap dan lakon humoris di mata teman-sejawat.
Begitu pula halnya dengan sebuah ide. Banyak yang sudah ia perbuat ketika, kiprahnya sebagai Manager Anjungan Riau TMII di Jakarta. Tentu ini sebuah jabatan terbilang lama bagi seorang pegawai negeri sipil. "Bukan tak hendak siapa pengganti beliau. Ia memang didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting di bidang seni musik". Demikian banyak pihak menyebut.
Berbagai pendapat dan saran, ia berikan ketika banyak pihak menginginkan ia masuk dalam tim kreatif di managemen TMII. Tak jarang ide tersebut menjadi fenomenal. Sederhana dan kadang menggelikan. Adalah 'Malam Pesona Anjungan Riau', dan 'Festival Topeng Monyet' di TMII juga inisiatifnya. Masih banyak ide dan kreativitasnya yang dituangkan ke Managemen TMII.
Di Pekanbaru, juga ide pertandingan 'Berlombo Sampan' di tepian sungai Siak tahun 1978, berlangsung sukses. Ditonton banyak orang dan dibuka oleh Walikotamadya Pekanbaru, Aburahman Hamid dan berlanjut pada Tahun 1979 dan dibuka oleh Gubernur Riau, Imam Munandar. Maka, tak heran ketika teman sejawat, teman keluh-kesah, dan teman senasib dan sepenanggungan di Dewan Kesenian Riau, Alm Ediruslan Pe Amanriza, meminta pendapat soal nama tabloid yang akan didirikan. Tahun 1998, Husni Thamrin mengusungkan nama “AZAM”. Nama itu berarti 'Tekad' dan dirilis dengan kepanjangan: 'Angkatan Zuriat Anak Melayu'. Dan, nama tabloid itu masih melekat hingga kini.
Ia yakin dengan suatu kebebasan. Sebuah kemuliaan yang sederhana, ia menunjukkan bahwa banyak persoalan masih tetap sama dalam hidup kita. "Kita tidak boleh berhenti pada pengagungan kebebasan, bahkan sebaliknya pembebasan individu harus terus dilihat dalam fungsi kemasyarakatan kemelayuan".
Dari kebebasan inilah lahir suatu keberanian dari seniman sejati ini. Dalam penulisan syair lagu ia terbilang berani. Keberanian memang bukan milik umum. Keberanian sebagai modal barangkali bisa diganti dengan sesuatu yang lebih bersahaja. Misalnya tidak adanya rasa bersalah. Banyak kita menilai bahwa ketakutan merupakan sesuatu yang sulit disingkirkan. Tapi banyak pula yang dengan hati yang takut itu, cukup memiliki rasa tidak bersalah. Ia memang keras untuk dirinya sendiri, tapi bahkan ia tidak terkenal keras kepada istri dan anak-anaknya. Ia juga inspirator bagi keluarga dan handai taulan.
Barangkali karena kemelayuan bukan cuma kesukuan dan selintas adat atau budaya. Melayu adalah Indonesia. Barangkali melayu adalah juga sebuah panggilan. Mungkin karena ia adalah sebuah ide yang tiap kali berseru, keras atau pelan: suatu potensi yang minta diaktualisasikan, suatu impian yang minta dijelmakan dari waktu ke waktu. Ketika kita berazam bahwa: Tak Melayu Hilang di Bumi. Kita bukannya tak sadar bahwa banyak yang tak tahu di sekitar kita. Tapi kita tak bisa menerima itu. Bersyukurlah, kita masih memijak bumi ini.
Husni Thamrin bukan hanya sekedar pencipta lagu, tapi ia juga seorang penyanyi, pelakon (aktor) dan seorang penyair. Seorang penyanyi, ia tunjukkan kepiawaiannya dalam mengatur lidah dan pernapasan. Ini terbukti, tahun 70-an berbagai prestasi ia sematkan dalam perlombaan Bintang Radio dan Televisi se Provinsi Riau dan se-Sumatera.
Karya-karyanya memberikan inspirasi bagi Pemerintah Provinsi Riau, untuk menyematkan Anugerah Penghargaan Seni Tradisional melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata di bidang Setia Seni Tahun 2008 lalu.
Menjelang usia pensiun di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Siak, tahun 2007, ia masih sempat menorehkan lagu. Tulisan syairnya memberikan decak kagum bagi yang tahu. Ia juga seorang yang berseloroh, tapi juga bijak berargumentasi. Karya-karya syair lagunya bak untaian sastra. Banyak kata tersirat dan petuah yang tersurat. Seorang kenalannya pernah melukiskan hal itu. Sutardji, Penyair Nasional berucap: “Ia seorang Penyair Sesat”.
Inilah sebuah kata yang tersusun penuh makna. Ketika muda, Husni Thamrin berbicara tentang keikhlasan dan ketika akhir hayatnya ia bicara tentang kesederhanaan. Ia tak hendak membayangkan sebuah lagu dengan syair yang panjang dan sekali lewat. Juga bukan syair tanpa abjad. Pada mulanya adalah niat. Sesuatu yang disusun dengan rapi dan jelas, dituliskan dengan rujukan yang memadai, didendangkan dalam ruang yang senyap.
Beberapa tulisan syair, pernah pula ikut menghiasi paragraf lagu “Bahtera Merdeka” (lagu dari negeri Jiran), dan “Surga di Bawah Telapak Kaki Ibu” oleh Said Effendi. Tentu, untuk menciptakan sebuah lagu dan syair bukanlah paling awal baginya. Bukan pula yang paling akhir. Ia tak hendak nama, tapi ia memberikan sebuah keikhlasan pada sebuah syair.
Ia tak pernah menangis untuk dirinya sendiri. Ia bisa mencucurkan air mata karena mengingat sebuah lagu lama yang ia ciptakan. Ia gampang terharu di saat ia tak bisa lagi berdiri tegak. Penyakit ginjal dan komplikasi lain hanya mampu ia tahan selama tiga tahun. Tapi, ia bukan penyedih atau perajuk. Mungkin hanya ia yang tahu. Sebuah lagu lama yang teramat sangat bagi dirinya untuk mengingat kembali bait-bait syair yang ia dendangkan.
Kini, ia telah menghadap Sang Khaliq, pada 20 April 2010, pukul 02.45 WIB. Buah karyanya akan selalu dikenang. Sebuah syair seperti yang ditulisnya (Hang Tuah): "Gaung bakti mu kesegenap rantau…”. Ia dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Senapelan, Pekanbaru. Dan, diatas pusaranya Pemerintah Kota Pekanbaru menyematkanya sebagai Tokoh Budayawan Riau. Semua kehilangannya. Semua juga menyadari bahwa seorang seniman sejati Riau telah mendahului. Jika banyak yang menangis lantaran Husni Thamrin telah pergi? Baiklah kita kenang: Ia menangis untuk mengingat syair-syair lagunya.
Banyak orang masih berharap: pencipta terbaik harus mencapai ujung terowongan. Tapi, ia agaknya tahu di akhir terowongan itu kehidupan tetap membatalkan jawaban yang paling pintar. Setidaknya, kalaupun ia merasa menemukannya, ia tak kunjung menyakinkan. Begitulah ia menganyam sebuah lagu, dan memberikan semangat heroisme kemelayuan di tanah melayu.
Ia juga banyak melucu, dan sekalipun sadar akan kepintaran dan kekayaan pengalamannya, ia bisa mewarnai percakapan dalam waktu yang panjang. Dan, memang tak jarang buah pikirannya memberikan inspirasi bagi yang lain.
Husni Thamrin juga dikenal sebagai perumus syair yang gemilang. Ia pandai menyusun kata-kata. Dan, karena itu pula ketika teman sejawat meminta rangkaian syair atau petatah-petitih, maka dalam sekejap ia mampu menuangkan alam pikirannya dalam secarik kertas. Tentunya dengan sikap dan lakon humoris di mata teman-sejawat.
Begitu pula halnya dengan sebuah ide. Banyak yang sudah ia perbuat ketika, kiprahnya sebagai Manager Anjungan Riau TMII di Jakarta. Tentu ini sebuah jabatan terbilang lama bagi seorang pegawai negeri sipil. "Bukan tak hendak siapa pengganti beliau. Ia memang didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting di bidang seni musik". Demikian banyak pihak menyebut.
Berbagai pendapat dan saran, ia berikan ketika banyak pihak menginginkan ia masuk dalam tim kreatif di managemen TMII. Tak jarang ide tersebut menjadi fenomenal. Sederhana dan kadang menggelikan. Adalah 'Malam Pesona Anjungan Riau', dan 'Festival Topeng Monyet' di TMII juga inisiatifnya. Masih banyak ide dan kreativitasnya yang dituangkan ke Managemen TMII.
Di Pekanbaru, juga ide pertandingan 'Berlombo Sampan' di tepian sungai Siak tahun 1978, berlangsung sukses. Ditonton banyak orang dan dibuka oleh Walikotamadya Pekanbaru, Aburahman Hamid dan berlanjut pada Tahun 1979 dan dibuka oleh Gubernur Riau, Imam Munandar. Maka, tak heran ketika teman sejawat, teman keluh-kesah, dan teman senasib dan sepenanggungan di Dewan Kesenian Riau, Alm Ediruslan Pe Amanriza, meminta pendapat soal nama tabloid yang akan didirikan. Tahun 1998, Husni Thamrin mengusungkan nama “AZAM”. Nama itu berarti 'Tekad' dan dirilis dengan kepanjangan: 'Angkatan Zuriat Anak Melayu'. Dan, nama tabloid itu masih melekat hingga kini.
Ia yakin dengan suatu kebebasan. Sebuah kemuliaan yang sederhana, ia menunjukkan bahwa banyak persoalan masih tetap sama dalam hidup kita. "Kita tidak boleh berhenti pada pengagungan kebebasan, bahkan sebaliknya pembebasan individu harus terus dilihat dalam fungsi kemasyarakatan kemelayuan".
Dari kebebasan inilah lahir suatu keberanian dari seniman sejati ini. Dalam penulisan syair lagu ia terbilang berani. Keberanian memang bukan milik umum. Keberanian sebagai modal barangkali bisa diganti dengan sesuatu yang lebih bersahaja. Misalnya tidak adanya rasa bersalah. Banyak kita menilai bahwa ketakutan merupakan sesuatu yang sulit disingkirkan. Tapi banyak pula yang dengan hati yang takut itu, cukup memiliki rasa tidak bersalah. Ia memang keras untuk dirinya sendiri, tapi bahkan ia tidak terkenal keras kepada istri dan anak-anaknya. Ia juga inspirator bagi keluarga dan handai taulan.
Barangkali karena kemelayuan bukan cuma kesukuan dan selintas adat atau budaya. Melayu adalah Indonesia. Barangkali melayu adalah juga sebuah panggilan. Mungkin karena ia adalah sebuah ide yang tiap kali berseru, keras atau pelan: suatu potensi yang minta diaktualisasikan, suatu impian yang minta dijelmakan dari waktu ke waktu. Ketika kita berazam bahwa: Tak Melayu Hilang di Bumi. Kita bukannya tak sadar bahwa banyak yang tak tahu di sekitar kita. Tapi kita tak bisa menerima itu. Bersyukurlah, kita masih memijak bumi ini.
Husni Thamrin bukan hanya sekedar pencipta lagu, tapi ia juga seorang penyanyi, pelakon (aktor) dan seorang penyair. Seorang penyanyi, ia tunjukkan kepiawaiannya dalam mengatur lidah dan pernapasan. Ini terbukti, tahun 70-an berbagai prestasi ia sematkan dalam perlombaan Bintang Radio dan Televisi se Provinsi Riau dan se-Sumatera.
Karya-karyanya memberikan inspirasi bagi Pemerintah Provinsi Riau, untuk menyematkan Anugerah Penghargaan Seni Tradisional melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata di bidang Setia Seni Tahun 2008 lalu.
Menjelang usia pensiun di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Siak, tahun 2007, ia masih sempat menorehkan lagu. Tulisan syairnya memberikan decak kagum bagi yang tahu. Ia juga seorang yang berseloroh, tapi juga bijak berargumentasi. Karya-karya syair lagunya bak untaian sastra. Banyak kata tersirat dan petuah yang tersurat. Seorang kenalannya pernah melukiskan hal itu. Sutardji, Penyair Nasional berucap: “Ia seorang Penyair Sesat”.
Inilah sebuah kata yang tersusun penuh makna. Ketika muda, Husni Thamrin berbicara tentang keikhlasan dan ketika akhir hayatnya ia bicara tentang kesederhanaan. Ia tak hendak membayangkan sebuah lagu dengan syair yang panjang dan sekali lewat. Juga bukan syair tanpa abjad. Pada mulanya adalah niat. Sesuatu yang disusun dengan rapi dan jelas, dituliskan dengan rujukan yang memadai, didendangkan dalam ruang yang senyap.
Beberapa tulisan syair, pernah pula ikut menghiasi paragraf lagu “Bahtera Merdeka” (lagu dari negeri Jiran), dan “Surga di Bawah Telapak Kaki Ibu” oleh Said Effendi. Tentu, untuk menciptakan sebuah lagu dan syair bukanlah paling awal baginya. Bukan pula yang paling akhir. Ia tak hendak nama, tapi ia memberikan sebuah keikhlasan pada sebuah syair.
Ia tak pernah menangis untuk dirinya sendiri. Ia bisa mencucurkan air mata karena mengingat sebuah lagu lama yang ia ciptakan. Ia gampang terharu di saat ia tak bisa lagi berdiri tegak. Penyakit ginjal dan komplikasi lain hanya mampu ia tahan selama tiga tahun. Tapi, ia bukan penyedih atau perajuk. Mungkin hanya ia yang tahu. Sebuah lagu lama yang teramat sangat bagi dirinya untuk mengingat kembali bait-bait syair yang ia dendangkan.
Kini, ia telah menghadap Sang Khaliq, pada 20 April 2010, pukul 02.45 WIB. Buah karyanya akan selalu dikenang. Sebuah syair seperti yang ditulisnya (Hang Tuah): "Gaung bakti mu kesegenap rantau…”. Ia dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Senapelan, Pekanbaru. Dan, diatas pusaranya Pemerintah Kota Pekanbaru menyematkanya sebagai Tokoh Budayawan Riau. Semua kehilangannya. Semua juga menyadari bahwa seorang seniman sejati Riau telah mendahului. Jika banyak yang menangis lantaran Husni Thamrin telah pergi? Baiklah kita kenang: Ia menangis untuk mengingat syair-syair lagunya.
(Hasil wawancara keluarga dan teman sejawat Alm Husni Thamrin).
Terimakasih bila ada informasi atau masukan yang membangun segera sampaikan ke redaksi cekau.com.
Terimakasih bila ada informasi atau masukan yang membangun segera sampaikan ke redaksi cekau.com.
0 komentar:
Posting Komentar