Rencana Gapura Jalan Karet |
CEKAU.COM-Rencana pembangunan gapura di simpang Jalan Karet -Jalan Juanda Pekanbaru, menuai aksi protes. Gapura, yang kini sudah mencapai sekitar 40 persen itu, dihentikan pembangunannya oleh Komunitas Melayu Riau Bersatu (KMRB) Riau, pada Sabtu (8/12/2012) sekitar pukul 09.00 WIB. Pembangunan tersebut dinilai tidak sesuai dengan pencapaian visi misi Riau 2020, menuju kebudayaan melayu se-asia tenggara. Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dikeluarkan Pemerintah Kota (Pemko) Pekanbaru dipertanyakan banyak pihak.
Ketua KMRB dijumpai redaksi cekau.com, Anas Aismana menegaskan, bahwa IMB yang dikeluarkan Pemerintah Kota (Pemko) Pekanbaru sudah menyalahi prosedur. Izin tersebut tidak mengkaji dampak yang ditimbulkan kemudian hari. Bahkan proses perizinkan terkait seni dan budaya melayu justru tidak melibatkan tetua melayu Pekanbau dan Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau.
"Ya, kami tegaskan sekali lagi, bahwa izin pembangunan gapura Tionghoa di Jalan Karet Pekanbaru yang dulu disebut Jalan Tanah Merah ini, harus ditinjau ulang. Karena sudah mengusik identitas budaya melayu, di kota lama ini. Bahkan IMB yang dikeluarkan Pemko tidak melibatkan tetua dan sesepuh orang melayu yang ada di Riau," tegas pria yang disapa Anas ini kepada cekau.com, Sabtu (8/12/2012).
Lelaki yang merupakan keturunan Datuk Pesisir, salah seorang dari empat datuk di zaman Kerajaan Siak ini menilai, seharusnya Pemko melihat rencana pembangunan gapura sesuai dengan bestek yang sudah diajukan pihak yang bersangkutan ketika membangun gapura tersebut. Di dalam bestek sudah terlihat rencana teknis, seperti surat permohonan di dalamnya ada latar belakang pembangunan, manfaatnya dan rencana anggaran biaya. Bahkan Pemko juga berhak meminta lampiran atau lembar persetujuan yang ditandatangai pihak warga khususnya warga melayu Pekanbaru dan Riau atas pembangunan tersebut. Termasuk rekomendasi yang dikeluarkan LAM Riau.
"Nah, sekarang hal ini tidak dilakukan pihak Pemko. Apakah rencana pembangunan gapura Jalan Karet itu sesuai dengan gambar melayu? Bahkan apakah sudah ada persetujuan dari sesepuh tetua adat melayu? Inikan tidak. Makanya, kami KMRB meminta pembangunan gapura Jalan Karet dihentikan sementara, sebelum ada persetujuan dari sesepuh dan tetua adat melayu Riau," terang Anas, yang juga Ketua Harian Bidang LAM Riau ini.
Pembangunan gapura dengan desain Tioanghoa, kata Anas, tidak mencerminkan budaya melayu Riau yang identik dengan Islam. Padahal, Pemko sendiri menganjurkan agar gapura di persimpanagan jalan di Kota Pekanbaru harus mencirikan adat dan istiadat melayu. Jika hal ini dibiarkan, maka bisa saja, suku lain membangun gapura yang mendesain asal daerahnya, yang ada di setiap persimpangan jalan umum.
"Ini sudah menyalah. Jika dibiarkan, ciri khas adat melayu akan sirna, karena didesain sesuka hati. Bisa saja, suku yang berasal dari daerah lain membangun gapura sesuai budaya atau ciri khas daerahnya di persimpanagan jalan umum. Nah, inilah yang kita takutkan, sehingga ciri khas Riau akan lesap secara perlahan-lahan," kesalnya.
Yang ditakutkan lagi, tambah lelaki yang lama tinggal di Tanjung Rhu itu bahwa, jika izin gapura etnis diberikan di Jalan Karet, di depan Jalan Juanda, maka bisa saja sekelompok warga ini meminta ke Pemko untuk membangun gapura di Jalan Karet di depan Jalan Sam Ratulangi, Pekanbaru. Inilah yang ditakutkan, dan tentunya sekolompak atau komunitas serta paguyuban lainnya akan meminta yang sama, dan merasa itu adalah daerah mereka. Hal ini sama saja tidak mencerminkan petuah melayu, dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung.
"Kalau ingin hidup tenang dan selamat, sebaiknya gunakan pepatah orang tua-tua dahulu, yaitu Dimana Bumi Dipijak Disitu Langit Dijunjung. Orang melayu pun kalau tinggal di negeri orang akan berbuat yang sama. Jika kita lama tinggal di negeri orang, sebaiknya hargailah adat budaya setempat. Jangan mengklaim tanah tersebut milik kita, dan melakukan sesuka hati. Lihat dan ajaklah berembuk dengan masyarakat sekitarnya. Jangan merasa eksklusif," geramnya.
Ketua KMRB dijumpai redaksi cekau.com, Anas Aismana menegaskan, bahwa IMB yang dikeluarkan Pemerintah Kota (Pemko) Pekanbaru sudah menyalahi prosedur. Izin tersebut tidak mengkaji dampak yang ditimbulkan kemudian hari. Bahkan proses perizinkan terkait seni dan budaya melayu justru tidak melibatkan tetua melayu Pekanbau dan Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau.
"Ya, kami tegaskan sekali lagi, bahwa izin pembangunan gapura Tionghoa di Jalan Karet Pekanbaru yang dulu disebut Jalan Tanah Merah ini, harus ditinjau ulang. Karena sudah mengusik identitas budaya melayu, di kota lama ini. Bahkan IMB yang dikeluarkan Pemko tidak melibatkan tetua dan sesepuh orang melayu yang ada di Riau," tegas pria yang disapa Anas ini kepada cekau.com, Sabtu (8/12/2012).
Lelaki yang merupakan keturunan Datuk Pesisir, salah seorang dari empat datuk di zaman Kerajaan Siak ini menilai, seharusnya Pemko melihat rencana pembangunan gapura sesuai dengan bestek yang sudah diajukan pihak yang bersangkutan ketika membangun gapura tersebut. Di dalam bestek sudah terlihat rencana teknis, seperti surat permohonan di dalamnya ada latar belakang pembangunan, manfaatnya dan rencana anggaran biaya. Bahkan Pemko juga berhak meminta lampiran atau lembar persetujuan yang ditandatangai pihak warga khususnya warga melayu Pekanbaru dan Riau atas pembangunan tersebut. Termasuk rekomendasi yang dikeluarkan LAM Riau.
"Nah, sekarang hal ini tidak dilakukan pihak Pemko. Apakah rencana pembangunan gapura Jalan Karet itu sesuai dengan gambar melayu? Bahkan apakah sudah ada persetujuan dari sesepuh tetua adat melayu? Inikan tidak. Makanya, kami KMRB meminta pembangunan gapura Jalan Karet dihentikan sementara, sebelum ada persetujuan dari sesepuh dan tetua adat melayu Riau," terang Anas, yang juga Ketua Harian Bidang LAM Riau ini.
Pembangunan gapura dengan desain Tioanghoa, kata Anas, tidak mencerminkan budaya melayu Riau yang identik dengan Islam. Padahal, Pemko sendiri menganjurkan agar gapura di persimpanagan jalan di Kota Pekanbaru harus mencirikan adat dan istiadat melayu. Jika hal ini dibiarkan, maka bisa saja, suku lain membangun gapura yang mendesain asal daerahnya, yang ada di setiap persimpangan jalan umum.
"Ini sudah menyalah. Jika dibiarkan, ciri khas adat melayu akan sirna, karena didesain sesuka hati. Bisa saja, suku yang berasal dari daerah lain membangun gapura sesuai budaya atau ciri khas daerahnya di persimpanagan jalan umum. Nah, inilah yang kita takutkan, sehingga ciri khas Riau akan lesap secara perlahan-lahan," kesalnya.
Yang ditakutkan lagi, tambah lelaki yang lama tinggal di Tanjung Rhu itu bahwa, jika izin gapura etnis diberikan di Jalan Karet, di depan Jalan Juanda, maka bisa saja sekelompok warga ini meminta ke Pemko untuk membangun gapura di Jalan Karet di depan Jalan Sam Ratulangi, Pekanbaru. Inilah yang ditakutkan, dan tentunya sekolompak atau komunitas serta paguyuban lainnya akan meminta yang sama, dan merasa itu adalah daerah mereka. Hal ini sama saja tidak mencerminkan petuah melayu, dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung.
"Kalau ingin hidup tenang dan selamat, sebaiknya gunakan pepatah orang tua-tua dahulu, yaitu Dimana Bumi Dipijak Disitu Langit Dijunjung. Orang melayu pun kalau tinggal di negeri orang akan berbuat yang sama. Jika kita lama tinggal di negeri orang, sebaiknya hargailah adat budaya setempat. Jangan mengklaim tanah tersebut milik kita, dan melakukan sesuka hati. Lihat dan ajaklah berembuk dengan masyarakat sekitarnya. Jangan merasa eksklusif," geramnya.
Anas bersama dua rekannya menentang pembangunan gapura |
Sementara, tetua melayu Riau yang lama bermastautin di Pekanbaru, Zulkifli mengatakan, bahwa izin pembangunan gapura Jalan Karet berbau etnis ini memang sudah menyalahi prosedur. Apalagi dibangun di atas jalan umum milik pemerintah. Kalau gapura dibangun di depan gang, dan jalan itu memang miliki sekelompok tertentu, yang dibeli, tentu hal ini tidak masalah. Seharusnya Pemko Pekanbaru harus teliti dan mengkaji jika memberikan IMB. Jangan asal mengejar PAD, namun harkat dan marwah melayu digadaikan.
"Ini memang sudah menyalah, jangan sampai gara-gara mengejar 'uang angpao' untuk pemasukan PAD, namun harkat dan martabat negeri Melayu dijual dan terinjak-injak. Pemerintah harus bijak disini, dan LAM Riau harus memanggil semua pihak yang terlibat untuk urung rembuk menyelesaikan masalah pembangunan gapura Jalan Karet ini. Ini sebuah pelajaran bijak bagi pemimpin," tegasnya kepada cekau.com.
Lelaki asal Tapung ini menyebutkan, jika pembangunan gapura tersebut dilakukan di gang milik sekumpulan atau warga etnis tertentu, atau ada rumah ibadah tertentu, hal ini bisa saja dilakukan. Karena itu disebut pintu gerbang. Bukan di jalan umum, yang sejak dulu menjadi akses bagi masyarakat. Apalagi, setiap pekan, berbagai aktivitas selalu dipakai untuk acara budaya etnis tertentu, sehingga masyarakat jadi terganggu. Ini sudah mengganggu ketertiban umum.
"Kalau gang, dibuat pintu gerbang itu, ini sah-sah saja, karena mengingat ada tempat rumah ibadah. Tapi inikan tidak. Jalan Karet ini jalan umum, yang dulu disebut Jalan Tanah Merah. Kalau dibuat gapura etnis seperti itu, ditakutkan Jalan Karet menjadi hak suatu kelompok tertentu, dan mereka akan melakukan aktivitas budaya di sana sepanjang hari. Wah, ini bisa kacau dan bisa saja mereka mengatakan Jalan Karet tersebut sudah dibelinya," jelasnya.
Ini juga diamini pemuda melayu Riau, Yahya D kepada cekau.com, bahwa pembangunan gapura Jalan Karet sudah menjatuhkan marwah melayu Riau. Pasalnya, keinginan sekolompok tertentu, sudah mengangkangi visi misi Riau 2020, sebagai upaya Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau untuk mengangkat kebudayaan melayu se-asia tenggara.
"Yang ditakutkan juga, bahwa jika izin mendirikan bangunan yang diberikan, akan diikuti dengan meminta izin untuk membangun yang kedua di kawasan Jalan Sam Ratulangi. Bahkan, jika kami tak melarang, maka akan ada sekolompok etnis yang lain juga akan berbuat yang sama. Nah, pemerintah harus mengkaji ini lebih jauh. Dampak buruknya juga ditinjau," tegasnya.
Pantauan cekau.com, puluhan massa bergerak melakukan aksi damai di sekitar Gapura di Jalan Juanda Pekanbaru sejak puluk sembilan pagi. Dengan aksi diam, tanpa orasi seperti diteriakkan kalangan mahasiswa, mereka memanjat dua buah tiang gapura bulat itu dengan tangga. Tiba di atas gapura, mereka memasang spanduk, berisikan teguran agar pembangunan dihentikan mengingat rencana pembangunan gapura itu tidak sesuai dengan visi misi Riau 2020.
"Pembangunan gapura ini seharusnya sejalan visi misi Riau 2020. Apalagi pemerintah pusat sudah menggalakkan mengangkat kearifan lokal (local wisdom) masyarakat setempat. Dalam hal ini, kami tidak bermaksud menghalangi sekolompok tertentu untuk membangun Kota Pekanbaru ini. Tetapi, hargailah kearifan lokal dan budaya masyarakat melayu sebagai masyarakat muslim yang ada di Riau ini," kata Anas lagi.
Sementara, beberapa warga etnis lainnya, ketika diminta tanggapannya terkait penghentian pembangunan gapura Jalan Karet ini oleh KMRB, tidak satu pun memberikan pendapat. Mereka malah menjauh ketika didekati wartawan.*
"Ini memang sudah menyalah, jangan sampai gara-gara mengejar 'uang angpao' untuk pemasukan PAD, namun harkat dan martabat negeri Melayu dijual dan terinjak-injak. Pemerintah harus bijak disini, dan LAM Riau harus memanggil semua pihak yang terlibat untuk urung rembuk menyelesaikan masalah pembangunan gapura Jalan Karet ini. Ini sebuah pelajaran bijak bagi pemimpin," tegasnya kepada cekau.com.
Lelaki asal Tapung ini menyebutkan, jika pembangunan gapura tersebut dilakukan di gang milik sekumpulan atau warga etnis tertentu, atau ada rumah ibadah tertentu, hal ini bisa saja dilakukan. Karena itu disebut pintu gerbang. Bukan di jalan umum, yang sejak dulu menjadi akses bagi masyarakat. Apalagi, setiap pekan, berbagai aktivitas selalu dipakai untuk acara budaya etnis tertentu, sehingga masyarakat jadi terganggu. Ini sudah mengganggu ketertiban umum.
"Kalau gang, dibuat pintu gerbang itu, ini sah-sah saja, karena mengingat ada tempat rumah ibadah. Tapi inikan tidak. Jalan Karet ini jalan umum, yang dulu disebut Jalan Tanah Merah. Kalau dibuat gapura etnis seperti itu, ditakutkan Jalan Karet menjadi hak suatu kelompok tertentu, dan mereka akan melakukan aktivitas budaya di sana sepanjang hari. Wah, ini bisa kacau dan bisa saja mereka mengatakan Jalan Karet tersebut sudah dibelinya," jelasnya.
Ini juga diamini pemuda melayu Riau, Yahya D kepada cekau.com, bahwa pembangunan gapura Jalan Karet sudah menjatuhkan marwah melayu Riau. Pasalnya, keinginan sekolompok tertentu, sudah mengangkangi visi misi Riau 2020, sebagai upaya Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau untuk mengangkat kebudayaan melayu se-asia tenggara.
"Yang ditakutkan juga, bahwa jika izin mendirikan bangunan yang diberikan, akan diikuti dengan meminta izin untuk membangun yang kedua di kawasan Jalan Sam Ratulangi. Bahkan, jika kami tak melarang, maka akan ada sekolompok etnis yang lain juga akan berbuat yang sama. Nah, pemerintah harus mengkaji ini lebih jauh. Dampak buruknya juga ditinjau," tegasnya.
Pantauan cekau.com, puluhan massa bergerak melakukan aksi damai di sekitar Gapura di Jalan Juanda Pekanbaru sejak puluk sembilan pagi. Dengan aksi diam, tanpa orasi seperti diteriakkan kalangan mahasiswa, mereka memanjat dua buah tiang gapura bulat itu dengan tangga. Tiba di atas gapura, mereka memasang spanduk, berisikan teguran agar pembangunan dihentikan mengingat rencana pembangunan gapura itu tidak sesuai dengan visi misi Riau 2020.
"Pembangunan gapura ini seharusnya sejalan visi misi Riau 2020. Apalagi pemerintah pusat sudah menggalakkan mengangkat kearifan lokal (local wisdom) masyarakat setempat. Dalam hal ini, kami tidak bermaksud menghalangi sekolompok tertentu untuk membangun Kota Pekanbaru ini. Tetapi, hargailah kearifan lokal dan budaya masyarakat melayu sebagai masyarakat muslim yang ada di Riau ini," kata Anas lagi.
Sementara, beberapa warga etnis lainnya, ketika diminta tanggapannya terkait penghentian pembangunan gapura Jalan Karet ini oleh KMRB, tidak satu pun memberikan pendapat. Mereka malah menjauh ketika didekati wartawan.*
Kepada pihak2 terkait segera menyelesaikan hal ini dgn musyawarah. Ini kasus kecil tapi ibarat api dalam sekam.
BalasHapussaya orang keturunan pun tak setuju lah. gapura macam tu bisa bikin orang marah. saya minta maaf jika ada kawan saya membangun tanpa ada persetujuan pihak2 terkait.
BalasHapus