Tugu Keris Riau Pasang Terbalik |
CEKAU.COM-Keris acap disimbolkan sebagai lambang kehormatan seseorang atau sebuah kerajaan maupun negara. Tapi, banyak tidak mengerti makna dari penggunaan keris sebagai simbol kehormatan, dalam kehidupan sehari-hari. Jadi tak heran, bila salah satu tugu yang mengambil objek keris, dinilai tidak tepat penggunaannya lantaran posisi keris dipasang terbalik. Kok bisa?
Tugu Keris Riau itu berdiri indah dan terlihat di simpang Jalan Pattimura dan Jalan Diponegoro, Pekanbaru. Tapi, siapa sangka bila posisi keris itu dinilai tidak tepat dari penggunaannya. Terbalik.
Sebenarnya, masalah ini sudah lama disampaikan kalangan budayawan Riau, maupun pemerhati masyarakat melayu. Sebut saja hal ini diperdebatkan oleh Anas Aismana, seniman dan budayawan Riau. Ia mengatakan bahwa, pemasangan keris dengan posisi terbalik itu dinilainya tidak tepat.
"Ini sudah menyalah, seharusnya kepala keris burung serindit itu berada di bawah, sedangkan mata keris yang runcing itu berada di atas, mengarah ke langit," yakinnya.
Bukan tak beralasan, bagi Anas, ketika menyebut, bahwa keris itu adalah simbol kehormatan yang dijunjung tinggi mengarah ke langit. Ini bentuk perlawanan, perjuangan, serta mempertahankan marwah dan martabat diri. Sebaliknya, bila keris ditancap ke bumi, itu menandakan kekalahan atau menyerah.
"Inilah yang dilakukan Hang Tuah, dengan kering Tameng Sari, dan para satria laksamana Melayu Riau lainnya. Bahwa ketika ia menghadang musuh, maka keris dihunus ke atas langit, sebagai simbol kehormatan atau perlawanan. Tapi, bila dihujam ke bumi berarti menyerah alias kalah," jelasnya.
Alasan itu pula ia menyimpulkan, bahwa bila posisi keris berdasarkan penggunaannya, dinilai tidak tepat pada tugu keris yang dibangun pemerintah di simpang empat Jalan Pattimura dan Ponegoro, Pekanbaru, sekitar sepuluh tahun lalu itu.
Selain dari penggunaan, terutama peletakkan keris yang tidak tepat, kata Anas, konsep pembangunan tugu juga tidak selaras dengan artistik melayu. Seharusnya, sebuah perencanaan tugu yang menyangkut budaya Melayu Riau, harus didiskusikan dengan duduk berimpit lutut makan sehidangan.
"Artinya, segala sesuatu yang menyangkut budaya Melayu Riau, harus didiskusikan dengan tetua adat Melayu Riau, maupun dengan lembaga adat. Ini bertujuan agar arah dan tujuan pembangunan tugu tidak merusak dan menimbulkan kesalahpahaman bagi generasi mendatang," kata Anas, yang bermastautin sejak lahir di Tanjung Rhu, Rintis ini.
Pendapat Anas ini, juga diperkuat Datuk Meiko Sofyan, Tokoh Pemuda Riau, yang juga aktif sebagai pengurus Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) Kota Pekanbaru. Anak Jati Riau, mengatakan bahwa, keberadaan tugu keris itu, dinilai tidak tepat dari segi estetika maupun artistik.
Datuk beralasan berdasarkan kajian teknis dan seni, bahwa dalam sebuah model atau bentuk, harusnya ada persentase objek yang akan diusung. Datuk mencontohkan, persentase tugu keris di simpang empat itu, menunjukkan persentase objek utama justru lebih kecil ketimbang objek pendukung.
"Dari tugu keris itu, coba dilihat, mana persentase yang lebih besar: Keris atau Batu? Nah, kan yang lebih menonjol media batunya. Kerisnya tak nampak, hanya secuil-mungil. Ini yang tidak tepat," tegasnya.
Pandangan ini juga diakui Abdul Latif, pemerhati sejarah Riau, bahwa soal objek yang akan dibangun sebagai tugu, dinilainya tidak masalah. Asalkan melambangkan aspek sejarah dan historis budaya Melayu. Yang terpenting baginya, adalah letak dan fungsi dari tugu itu harus mengandung makna dan unsur keindahan yang dipahami semua kalangan.
"Masalah sekarang, bila tugu keris melambangkan sebagai perjuangan, harusnya ada cerita yang terkandung didalamnya. Baik dari segi sejarah perjuangan Riau maupun nilai-nilai budaya Melayu Riau," ujar Latif via telepon seluler.
Kurangnya unsur budaya, historis maupun artistik, Sekertaris Fraksi Demokrat DPRD Kota Pekanbaru, Syamsul Bahri SSos, juga berpendapat sama. Anggota Komisi II ini mengatakan, bahwa pembangunan tugu hendaknya harus menghubungkan dari berbagai aspek.
"Peninjauan ini perlu dilakukan pemerintah, karena dampaknya sangat besar. Jangan sampai warga pendatang menilai menyepelekan nilai-nilai monumen-monumen itu yang tidak artistik," katanya.
Syamsul menilai aspek yang perlu dilihat adalah, aspek budaya, sosiologis, dan manfaat maupun kegunaan. Dari ketiga aspek tersebut, ia sangat mengharapkan agar pemerintah lebih mengkaji ulang sebelum menetapkan sebuah tugu yang berbentuk objek budaya Melayu Riau.
Nah, bila tugu keris itu dinilai tidak tepat, mengapa masih bertahan hingga kini? *
Tugu Keris Riau itu berdiri indah dan terlihat di simpang Jalan Pattimura dan Jalan Diponegoro, Pekanbaru. Tapi, siapa sangka bila posisi keris itu dinilai tidak tepat dari penggunaannya. Terbalik.
Sebenarnya, masalah ini sudah lama disampaikan kalangan budayawan Riau, maupun pemerhati masyarakat melayu. Sebut saja hal ini diperdebatkan oleh Anas Aismana, seniman dan budayawan Riau. Ia mengatakan bahwa, pemasangan keris dengan posisi terbalik itu dinilainya tidak tepat.
"Ini sudah menyalah, seharusnya kepala keris burung serindit itu berada di bawah, sedangkan mata keris yang runcing itu berada di atas, mengarah ke langit," yakinnya.
Bukan tak beralasan, bagi Anas, ketika menyebut, bahwa keris itu adalah simbol kehormatan yang dijunjung tinggi mengarah ke langit. Ini bentuk perlawanan, perjuangan, serta mempertahankan marwah dan martabat diri. Sebaliknya, bila keris ditancap ke bumi, itu menandakan kekalahan atau menyerah.
"Inilah yang dilakukan Hang Tuah, dengan kering Tameng Sari, dan para satria laksamana Melayu Riau lainnya. Bahwa ketika ia menghadang musuh, maka keris dihunus ke atas langit, sebagai simbol kehormatan atau perlawanan. Tapi, bila dihujam ke bumi berarti menyerah alias kalah," jelasnya.
Alasan itu pula ia menyimpulkan, bahwa bila posisi keris berdasarkan penggunaannya, dinilai tidak tepat pada tugu keris yang dibangun pemerintah di simpang empat Jalan Pattimura dan Ponegoro, Pekanbaru, sekitar sepuluh tahun lalu itu.
Selain dari penggunaan, terutama peletakkan keris yang tidak tepat, kata Anas, konsep pembangunan tugu juga tidak selaras dengan artistik melayu. Seharusnya, sebuah perencanaan tugu yang menyangkut budaya Melayu Riau, harus didiskusikan dengan duduk berimpit lutut makan sehidangan.
"Artinya, segala sesuatu yang menyangkut budaya Melayu Riau, harus didiskusikan dengan tetua adat Melayu Riau, maupun dengan lembaga adat. Ini bertujuan agar arah dan tujuan pembangunan tugu tidak merusak dan menimbulkan kesalahpahaman bagi generasi mendatang," kata Anas, yang bermastautin sejak lahir di Tanjung Rhu, Rintis ini.
Pendapat Anas ini, juga diperkuat Datuk Meiko Sofyan, Tokoh Pemuda Riau, yang juga aktif sebagai pengurus Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) Kota Pekanbaru. Anak Jati Riau, mengatakan bahwa, keberadaan tugu keris itu, dinilai tidak tepat dari segi estetika maupun artistik.
Datuk beralasan berdasarkan kajian teknis dan seni, bahwa dalam sebuah model atau bentuk, harusnya ada persentase objek yang akan diusung. Datuk mencontohkan, persentase tugu keris di simpang empat itu, menunjukkan persentase objek utama justru lebih kecil ketimbang objek pendukung.
"Dari tugu keris itu, coba dilihat, mana persentase yang lebih besar: Keris atau Batu? Nah, kan yang lebih menonjol media batunya. Kerisnya tak nampak, hanya secuil-mungil. Ini yang tidak tepat," tegasnya.
Pandangan ini juga diakui Abdul Latif, pemerhati sejarah Riau, bahwa soal objek yang akan dibangun sebagai tugu, dinilainya tidak masalah. Asalkan melambangkan aspek sejarah dan historis budaya Melayu. Yang terpenting baginya, adalah letak dan fungsi dari tugu itu harus mengandung makna dan unsur keindahan yang dipahami semua kalangan.
"Masalah sekarang, bila tugu keris melambangkan sebagai perjuangan, harusnya ada cerita yang terkandung didalamnya. Baik dari segi sejarah perjuangan Riau maupun nilai-nilai budaya Melayu Riau," ujar Latif via telepon seluler.
Kurangnya unsur budaya, historis maupun artistik, Sekertaris Fraksi Demokrat DPRD Kota Pekanbaru, Syamsul Bahri SSos, juga berpendapat sama. Anggota Komisi II ini mengatakan, bahwa pembangunan tugu hendaknya harus menghubungkan dari berbagai aspek.
"Peninjauan ini perlu dilakukan pemerintah, karena dampaknya sangat besar. Jangan sampai warga pendatang menilai menyepelekan nilai-nilai monumen-monumen itu yang tidak artistik," katanya.
Syamsul menilai aspek yang perlu dilihat adalah, aspek budaya, sosiologis, dan manfaat maupun kegunaan. Dari ketiga aspek tersebut, ia sangat mengharapkan agar pemerintah lebih mengkaji ulang sebelum menetapkan sebuah tugu yang berbentuk objek budaya Melayu Riau.
Nah, bila tugu keris itu dinilai tidak tepat, mengapa masih bertahan hingga kini? *
jadi ingat kata-kata di sebuah buku.. dari Edi Ruslan P. Amanriza.
BalasHapus"..kalau keris sudah di tikam ketanah, itulah pertanda puncak kemarahan seorang melayu,.." artinya menurut beliau ? tidak lagi berlaku perundingan apapun yang akan terjadi terjadilah Esa Hilang Dua Terbilang, mati satu tumbuh seribu, dari pada berputih mata lebih baik berputih tulang tak Melayu hilang di bumi.
Nyambung ga yah ke Tugu itu ??
Kalau seperti itu di buku Alm Edi Ruslan sebaiknya buat patung orang yg menikamkan keris ke tanah dengan ekspresi maeah.
HapusSaya juga dah baca buku Edy itu. Menusuk keris ke bumi menandakan kemarahan, bila keris itu dipegang pemiliknya. Sebaliknya, kalau seonggok keris ditancap tanpa ada orangnya. itu menandakan kekalahan. Jadi bedakan keris yg sengaja ditancap dengan kemarahan dan keris yg ditusuk ke bumi tanpa ada orangnya.
BalasHapus