CEKAU.COM-Keris di mata orang Melayu di Riau, sebagai salah satu senjata adat. Bahkan senjata yang dinilai untuk penusuk jarak pendek itu dikenal dan dipakai sebagian masyarakat di Asia Tenggara. Sebagai senjata menusuk, keris bagi sipemakai atau pemiliknya juga akan dimuliakan maupun dihormati sebagiaan masyarakat yang melihatnya.
Keberadaan keris ini ternyata bukan saja dimiliki oleh suku bangsa di Indonesia. Hal ini juga diakui Karsten Sejr Jensen, pada 1998 mengatakan bahwa, keris juga bagian dari suatu bangsa lain di sebagian Asia Tenggara. Sebut saja bangsa Malaysia, Brunai, Thailand, Kamboja, Laos, Suku Moro di Philipina Selatan.
Hal ini juga ditegaskan Datuk Meiko Sofyan, Tokoh Pemuda Riau, bahwa di Indonesia, kebanyakan fungsi keris selain senjata tajam juga dikenal sebagai benda bertuah (keramat) dan dianggap mempunyai daya magis yang dikenal sebuah benda pusaka yang bertuah. "Bertuah artinya memiliki nilai-nilai kehormatan, bila waktu pembuatan terbilang lama, maka dapat dikatakan benda sejarah, yang bernilai tinggi," terang Datuk.
Tak heran, kata Anas Aismana, seniman dan budayawan Riau ini, bahwa benda pusaka itu acap dijadikan sebagai komoditi perdagangan bagi orang-orang pecinta benda pusaka (kolektor benda pusaka). Sebagai benda pusaka dan merupakan simbol kehormatan bahkan sebagai benda pelengkap pada sebuah upacara adat yang melekat pada busana daerah. Ini pun diakui Garret 7 Bronwen Solyom pada 1987.
Sementara, keris itu sendiri sebenarnya adalah senjata khas yang digunakan oleh daerah-daerah yang memiliki rumpun Melayu atau bangsa Melayu. Pada saat ini, Keberadaan Keris sangat umum dikenal di daerah Indonesia terutama di daerah pulau Jawa dan Sumatera, Malaysia, Brunei, Thailand dan Filipina khususnya di daerah Filipina selatan (Pulau Mindanao). Namun, bila dibandingkan dengan Indonesia dan Malaysia, keberadaan keris dan pembuatnya di Filipina telah menjadi hal yang sangat langka dan bahkan hampir punah.
Simbol Kehormatan
Kedudukan keris dalam sejarah sebagai simbol kehormatan tidak dipungkiri lagi, bahwa dalam masa kerajaan itu terlihat jelas sebagai bentuk perlindungan diri, maupun kebanggaan. Bahkan dalam sejarah modern, fungsi itu terus berkembang sebagai obyek sejarah, dan dapat pula menjadi benda penentu sejarah berdasarkan masa pembuatan dan jenis bahan yang digunakan. Hal ini juga diyakini Surono, ahli sejarah pada 1979.
Jadi tak heran, hingga kini dalam adat dan budaya Melayu Riau, selalu menggandengkan keris dalam setiap busana sebagai senjata pelengkap sejak turun-temurun. Hal ini juga dibuktikan dari berbagai sejarah kerajaan raja-raja di Riau, seperti pada dokumentasi raja-raja di kerajaan Siak Sri Indrapura, Pelalawan, Indragiri, Kerajaan Rokan, Kampar, terlihat selalu mengenakan keris sebagai simpol kehormatan seorang raja.
Mesti masa kerajaan sudah tidak publikasikan lagi, namun tradisi penggunaan keris sebagai simbol kehormatan, bagi orang-orang Melayu, yang disematkan orangtua-tua dahulu, masih tetap melekat pada pakaian upacara adat Melayu Riau.
Tak pelak lagi, tingginya nilai kehormatan pada keris dari segi budaya juga terpatri pada cerita legenda lima laksamana satria Melayu Riau. Adalah Hang Tuah, Hang Jebat, Hang Lekiuw, Hang Kasturi, dan Hang Nadim.
Begitu pula cerita legenda Ajisaka, Pararaton, Babad Tanah Jawi di Pulau Jawa. Ini juga diuraikan dalam penulisan sejarah modern De Graaf, bahkan keris masih hadir pula dalam masyarakat modern masa kemerdekaan Republik Indonesia. Sebut saja, Panglima Besar Soedirman dan Bung Karno sampai Soeharto.
Masa kepemimpinan Republik Indonesia itu, dibuktikan dalam hubungan diplomasi dengan negara sahabat, melalui pemberian tanda mata untuk kepala negara atau wakil negara sahabat, berupa keris Bali maupun keris Jawa. Namun, dimana keberadaan keris Sumatera, Kalimantan, Sulawesi maupun Lombok ata Irianjaya?
Penggunaan Keris
Penggunaan keris dalam busana, setiap daerah tentunya berbeda-beda. Di Jawa dan Sunda, misalnya, keris ditempatkan di pinggang bagian belakang. Sementara di Sumatera, Kalimantan, Malaysia, Brunei dan Filipina, keris ditempatkan di depan.
Perbedaan ini sebenarnya, berdasarkan penilaian adat dari masing-masing daerah. Untuk Riau, diakui Anas Aismana, budayawan Riau, bahwa pemakaian di depan menunjukkan kesiapan dan kesatriaan seorang panglima atau laksamana,, maupun para laskar. Terutama menghadapi musuh, biasanya, dengan posisi di depan semua akan tahu bahwa sama-sama memiliki senjata.
"Kejantanan inilah menunjukkan orang Melayu, bahwa keris sebagai simbol kehormatan yang harus dipertahankan setiap saat," ujar Anas.
Selain keris ditempatkan pada pakaian di posisi depan, keris bagi orang Melayu, juga memiliki nilai-nilai kultural kebiasaan penempatan posisi keris. Kepala keris berada di bawah sedangkan hulu yang tajam menjulang ke atas. Nilai-nilai ini mengandung arti bahwa kemenangan dan martabat diri sudah diraih. Sebaliknya, bila posisi kepala keris berada di bawah, dengan hulu tajam menancap ke bumi, justru diartikan kalah, dan martabat diri ikut terbawa-bawa.*
Keberadaan keris ini ternyata bukan saja dimiliki oleh suku bangsa di Indonesia. Hal ini juga diakui Karsten Sejr Jensen, pada 1998 mengatakan bahwa, keris juga bagian dari suatu bangsa lain di sebagian Asia Tenggara. Sebut saja bangsa Malaysia, Brunai, Thailand, Kamboja, Laos, Suku Moro di Philipina Selatan.
Hal ini juga ditegaskan Datuk Meiko Sofyan, Tokoh Pemuda Riau, bahwa di Indonesia, kebanyakan fungsi keris selain senjata tajam juga dikenal sebagai benda bertuah (keramat) dan dianggap mempunyai daya magis yang dikenal sebuah benda pusaka yang bertuah. "Bertuah artinya memiliki nilai-nilai kehormatan, bila waktu pembuatan terbilang lama, maka dapat dikatakan benda sejarah, yang bernilai tinggi," terang Datuk.
Tak heran, kata Anas Aismana, seniman dan budayawan Riau ini, bahwa benda pusaka itu acap dijadikan sebagai komoditi perdagangan bagi orang-orang pecinta benda pusaka (kolektor benda pusaka). Sebagai benda pusaka dan merupakan simbol kehormatan bahkan sebagai benda pelengkap pada sebuah upacara adat yang melekat pada busana daerah. Ini pun diakui Garret 7 Bronwen Solyom pada 1987.
Sementara, keris itu sendiri sebenarnya adalah senjata khas yang digunakan oleh daerah-daerah yang memiliki rumpun Melayu atau bangsa Melayu. Pada saat ini, Keberadaan Keris sangat umum dikenal di daerah Indonesia terutama di daerah pulau Jawa dan Sumatera, Malaysia, Brunei, Thailand dan Filipina khususnya di daerah Filipina selatan (Pulau Mindanao). Namun, bila dibandingkan dengan Indonesia dan Malaysia, keberadaan keris dan pembuatnya di Filipina telah menjadi hal yang sangat langka dan bahkan hampir punah.
Simbol Kehormatan
Kedudukan keris dalam sejarah sebagai simbol kehormatan tidak dipungkiri lagi, bahwa dalam masa kerajaan itu terlihat jelas sebagai bentuk perlindungan diri, maupun kebanggaan. Bahkan dalam sejarah modern, fungsi itu terus berkembang sebagai obyek sejarah, dan dapat pula menjadi benda penentu sejarah berdasarkan masa pembuatan dan jenis bahan yang digunakan. Hal ini juga diyakini Surono, ahli sejarah pada 1979.
Jadi tak heran, hingga kini dalam adat dan budaya Melayu Riau, selalu menggandengkan keris dalam setiap busana sebagai senjata pelengkap sejak turun-temurun. Hal ini juga dibuktikan dari berbagai sejarah kerajaan raja-raja di Riau, seperti pada dokumentasi raja-raja di kerajaan Siak Sri Indrapura, Pelalawan, Indragiri, Kerajaan Rokan, Kampar, terlihat selalu mengenakan keris sebagai simpol kehormatan seorang raja.
Mesti masa kerajaan sudah tidak publikasikan lagi, namun tradisi penggunaan keris sebagai simbol kehormatan, bagi orang-orang Melayu, yang disematkan orangtua-tua dahulu, masih tetap melekat pada pakaian upacara adat Melayu Riau.
Tak pelak lagi, tingginya nilai kehormatan pada keris dari segi budaya juga terpatri pada cerita legenda lima laksamana satria Melayu Riau. Adalah Hang Tuah, Hang Jebat, Hang Lekiuw, Hang Kasturi, dan Hang Nadim.
Begitu pula cerita legenda Ajisaka, Pararaton, Babad Tanah Jawi di Pulau Jawa. Ini juga diuraikan dalam penulisan sejarah modern De Graaf, bahkan keris masih hadir pula dalam masyarakat modern masa kemerdekaan Republik Indonesia. Sebut saja, Panglima Besar Soedirman dan Bung Karno sampai Soeharto.
Masa kepemimpinan Republik Indonesia itu, dibuktikan dalam hubungan diplomasi dengan negara sahabat, melalui pemberian tanda mata untuk kepala negara atau wakil negara sahabat, berupa keris Bali maupun keris Jawa. Namun, dimana keberadaan keris Sumatera, Kalimantan, Sulawesi maupun Lombok ata Irianjaya?
Penggunaan Keris
Penggunaan keris dalam busana, setiap daerah tentunya berbeda-beda. Di Jawa dan Sunda, misalnya, keris ditempatkan di pinggang bagian belakang. Sementara di Sumatera, Kalimantan, Malaysia, Brunei dan Filipina, keris ditempatkan di depan.
Perbedaan ini sebenarnya, berdasarkan penilaian adat dari masing-masing daerah. Untuk Riau, diakui Anas Aismana, budayawan Riau, bahwa pemakaian di depan menunjukkan kesiapan dan kesatriaan seorang panglima atau laksamana,, maupun para laskar. Terutama menghadapi musuh, biasanya, dengan posisi di depan semua akan tahu bahwa sama-sama memiliki senjata.
"Kejantanan inilah menunjukkan orang Melayu, bahwa keris sebagai simbol kehormatan yang harus dipertahankan setiap saat," ujar Anas.
Selain keris ditempatkan pada pakaian di posisi depan, keris bagi orang Melayu, juga memiliki nilai-nilai kultural kebiasaan penempatan posisi keris. Kepala keris berada di bawah sedangkan hulu yang tajam menjulang ke atas. Nilai-nilai ini mengandung arti bahwa kemenangan dan martabat diri sudah diraih. Sebaliknya, bila posisi kepala keris berada di bawah, dengan hulu tajam menancap ke bumi, justru diartikan kalah, dan martabat diri ikut terbawa-bawa.*
0 komentar:
Posting Komentar