Hubungi Kami | Tentang Kami | Disclaimer

Kamis, 21 Maret 2013

Setetes Air di Negeri Minyak, Duh! Riau Krisis Air Bersih


CEKAU.COM-Kualitas air di wilayah pesisir, Pekanbaru, Riau bisa dikatakan unik. Selain air berwarna kelam, ternyata air juga bercampur dengan emas hitam alias berminyak. Inilah kondisi yang acap dipakai warga untuk mandi, cuci dan kakus (MCK). Tak sedikit pula warga menyaring dan langsung mengkonsumsinya. Krisis air bersih sudah lama 'menghantui' wilayah pesisir ini.

Mentari mencapai puncak ubun-ubun di bumi melayu, siang itu. Teriknya, tentu saja membuat Acen (43) dan lima orang lainnya mengusap keringatnya berulang kali. Kadang di kening, sesekali di pipi juga leher. Maklum, mereka berteduh pada satu batang sawit berusia tua yang mulai mati. Tapi, air bersih itu harus tetap diambil mesti terpaksa antre pada sumur bor di belakang Rumah Sakit Bersalin Kelurahan Limbungan Baru, Kecamatan Rumbai Pesisir, Pekanbaru, Riau.

"Kami terpaksa antre mengisi air bor dari Rumah Sakit Bersalin pada siang hari. Kalau malam atau dini hari, jumlah antrean semakin panjang?" terang Acen, Jumat (18/1). 

Ayah dua anak ini mengakui, jika mengambil air bersih pada siang hari, maka harus bisa melawan panasnya cuaca. Tapi ini diuntungkan, karena tidak semua orang mau antre dan berpanas-panas di bawah terik matahari yang mencapai 36 Derajat Celcius. Tapi mengingat air bersih dicarinya untuk menanak nasi dan minum keluarga, maka mereka harus rela, meski kulit bertambah hitam legam.

Ini bukan pertama kali dialami Acen dan warga sekitarnya untuk antre mencari air bersih di kampungnya. Kadang warga terpaksa mencari informasi agar tidak terlalu banyak antrean mengambil air bersih di sejumlah titik yang ada di kecamatan. Jadi bisa dihitung, berapa jumlah titik air sumur bor yang mengeluarkan air sendiri (air artesis dengan sistem deep well drilling) tersebut.

Maklum, untuk membangun sumur bor dengan kedalaman 200 hingga 300 meter di kawasan bergambut di Riau, tentu harus merogoh kocek yang tidak sedikit, bisa Rp 120 juta, bahkan lebih. Sementara kedalaman sumur bor warga antara 15 hingga 80 meter, tidak lebih Rp 3 juta hingga Rp 5 Juta. Karena biaya terhitung 'minim', tentu saja kondisi air terlihat berwarna coklat dan berminyak. Itupun air harus diangkat dengan bantuan pompa isap. Tingginya zat besi dan minyak yang terkandung dalam air tersebut, membuat pakaian bila dicuci bisa berwarna kuning kecoklatan. Bahkan, warga pun harus berpikir dua kali untuk meminum.

"Aduh, air kami bergelimang minyak. Jadi kami terpaksa mencari sumur bor ke sejumlah tempat untuk mencari air bersih. Kalau kami membangun sendiri, biayanya tidak sedikit. Untuk kedalaman 200 meter saja, bisa diupah seharga Rp 120 juta. Itu belum menjamin air yang didapat bersih dan tak berminyak. Kalau air bor di gedung Rumah Sakit Bersalin ini kira-kira 300 meter. Air panas dan keluar sendiri," jelas Acen.

Sedangkan sumur warga, tambahnya, dengan kedalaman sepuluh meter, airnya berwarna hitam atau kelam dan berminyak. Begitu pula, jika ada warga yang menggali sumur bor di bawah 30 meter, kondisi air tetap saja sama. Tetapi jika kedalaman mencapai 80 hingga 100 meter, maka air terlihat putih, namun masih ditemui minyak pula.

Selama ini, sebelum sumur bor di Rumah Sakit Bersalin, Rumbai Pesisir itu ada, warga lebih banyak mengharapkan turunnya hujan. Sedangkan untuk mandi dan kakus, warga lebih memilih tetap menggunakan sumur di rumah mereka. Namun jika untuk konsumsi dan membilas pakaian, warga lebih memilih menyaring air dengan cara tradisional. Cara ini dinilai lebih baik, dari pada meminum secara langsung.

Riau memiliki kandungan minyak yang besar
Ini pernah dilakoni Fatmahnur (56) warga setempat, setelah memilih untuk menutup sumur tua yang ada di belakang rumahnya, Jalan Nila Rumbai Pesisir. Ibu rumah tangga ini terpaksa melakukannya, lantaran kondisi air sumur sudah tidak layak dipakai lagi. Selain kedalaman sumur cuma 10 meter, kondisi air juga berwarna kecoklatan dan bercampur minyak. Persis seperti warna Sungai Siak yang dikenal terdalam di Indonesia, melintasi di tengah Kota Pekanbaru.

"Sebelum sumur tua ditutup, saya memanfaatkan saringan dalam drum plastik yang besar. Drum tersebut diisi lapisan bawah sabut kelapa, disusul arang kelapa, sabut lagi, kerikil dan pasir halus," terangnya dan menambahkan cara ini tidak bisa bertahan lama, karena kondisi air sumur semakin kelam dan berminyak. Malah, katanya, membutuhkan perawatan dari seminggu sekali menjadi tiga kali sehari. "Badan saya tak tahan membersihkan saringan itu tiga kali sehari," akunya.

Dasar itulah, wanita paruh baya ini menutup sumur tua dan membuat sumur bor dengan kedalaman 18 meter. Namun kedalaman ini masih ditemui air yang bercampur minyak. Ia kembali mengupah sumur galian sedalam 80 meter. "Hasilnya lumayan. Tapi meski air tidak kuning lagi, cara lama dengan menyaring tetap dilakukan, agar air tidak berbau dan berminyak. Dengan air inilah saya memberikannya kepada anak-anak," katanya.

Sementara kebutuhan air bersih yang diharapkan warga dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Siak, Pekanbaru, hingga kini belum bisa memenuhi kebutuhan konsumen. Selain kondisi air yang dikeluhkan berwarna kelam, berbau dan membawa sejumlah sedimen pasir dan lumpur. Ini wajar, karena sumber air berasal dari Sungai Siak dan dari Danau Khayangan di wilayah Rumbai.

Ini dialami Refi, warga Kecamatan Senapelan, yang minta berhenti sebagai konsumen PDAM. Alasannya, uang yang dikeluarkan Rp80-90 ribu setiap bulan, tidak setimpal dengan air yang mengalir ke rumahnya berasal dari Sungai Siak. "Saya sudah lama berhenti jadi pelanggan PDAM, karena uang yang saya keluarkan tak sebanding dengan air yang mengalir ke rumah saya. Kadang-kadang, selama sebulan air hanya menetes, berwarna hitam dan berlumpur," kata ibu dua anak ini. 

Setelah keluar sebagai pelanggan PDAM, Refi pun lebih memilih air artesis yang keluar sendiri dari gedung milik pemerintah maupun rumah warga yang mampu di Jalan Riau, Pekanbaru. Jika pengambilan itu ramai, maka ia lebih suka membeli air isi ulang dengan harga Rp3000 segalon. Itu pun, katanya, juga bisa langsung dikonsumsi.

Pelaksana Tugas Direktur Utama PDAM Tirta Siak, Edwin Supradana mengakui bahwa kualitas air minum Pekanbaru kini dalam tahap proses pengelolaan secara berkesinambungan. Apalagi kondisi ini diperburuk dengan enam buah pompa yang tidak memadai. "PDAM Tirta Siak akan terus meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan meminimalkan air mengalir yang tidak steril," katanya.  

Untuk pelanggan, kata Edwin, terjadi peningkatan dari tahun ke tahun, dari 6 hingga 8 persen dan pada Januari 2013. PDAM hanya mampu melayani 10 persen dari jumlah penduduk di Kota Pekanbaru, yang mencapai 897.767 pada 2012. Sementara kebutuhan air yang dibutuhkan kurang lebih 600.000 meter kubik setiap hari.

Krisis Air Bersih

Kondisi air sumur berwarna kelam kecoklatan dan bercampur minyak, menjadi keluhan sejak lama oleh warga yang bermastautin (bertempat tinggal) di tiga kecamatan, yakni Rumbai Pesisir, Senapelan dan Limapuluh. Ketiga kecamatan ini secara administrasi masuk dalam kawasan wilayah pesisir yang memiliki tingkat keasaman tanah mencapai 6-7 pH. Belum lagi, Riau berpotensi sebagai penghasil emas hitam (minyak mentah), menjadikan daerah ini juga sulit mencari air bersih yang layak minum. 

Kandungan zat besi dan kadar mangan ini bisa menimbulkan bau dan merusak properti dan kesehatan warga. "Masalah air kuning maupun berminyak disebabkan karena zat besi(Fe) dan kadar mangan (Mg). Apalagi Riau salah satu sebagai penghasil minyak terbesar di Indonesia. Bila air ini dikonsumsi berlebihan, bisa merusak tubuh," sebut Dr Abdullah Qayyum DK MM, Praktisi Kesehatan ini.

Krisis air ini, kata Qayyum, mengakibatkan 5 juta anak-anak di dunia meninggal, karena penyakit diare setiap tahun. Angka kematian ini tergolong sangat tinggi mencapai 34,6 persen. "Ini dampak buruk bagi kesehatan di masa akan datang. Apalagi ini dialami anak-anak," sebutnya.

Prof Dr Ir H Usman Muhammad Tang MS, Kepala Lembaga Penelitian Universitas Riau (UR), mengakui bahwa kebutuhan air bersih di Riau, mulai sulit. Apalagi hal ini terjadi di wilayah pesisir, termasuk di Kota Pekanbaru yang diapit oleh Sungai Siak. "Kesulitan air bersih di Riau memang terjadi sejak dulu. Ini dialami karena kondisi geografis Pekanbaru yang termasuk wilayah pesisir dan didukung dengan potensi sumberdaya alam khususnya minyak yang dimiliki Riau," katanya. 

Usman juga menyebutkan, dampak dari sulitnya kebutuhan air bersih ini banyak dialami masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir. Terutama bagi warga yang memiliki sumur dengan kedalaman di bawah 100 meter. Pasalnya, jika sumur warga berada di bawah kisaran tersebut, besar kemungkinan sumur warga tercampur dengan minyak. Parahnya lagi, jika warga yang tergolong tidak mampu membuat sumur di lahan gambut dengan kedalaman 20 meter, maka air yang dikonsumsi sangat membahayakan bagi kesehatan. Ini juga membuat warna air yang berwarna kecoklatan mampu berubah warna pakaian menjadi kuning.


"Kita harus ke pangkal kaji, hak atas air bersih, manusia, dan ekosistem dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, telah tertuang dalam Sidang Umum PBB pada 22 Desember 1992 di Rio De Janeiro, Brasil. Maka, setiap 22 Maret kita juga memperingati sebagai World Water Day atau Hari Air Dunia. Untuk itu, apa yang telah Indonesia perbuat terkait krisis air ini?" kata Usman, juga pengajar di Fakultas Perikanan dan Kelautan (Faperika) UR. 

Profesor Dr Yusni Ichwan Siregar MSc, Pemerhati Wilayah Pesisir, inipun mengatakan hal yang sama. Ada sekitar 3 persen kondisi air di muka bumi ini yang masih segar. Kondisi ini berada di bawah tanah atau dikurung di es dan salju. Sedangkan sekitar 1/10 dari 1 persen air bumi itu berada di danau, sungai dan pasokan bawah tanah yang dapat diakses yang kemudian tersedia untuk digunakan manusia. 

"Untuk itu kebutuhan penyeimbangan antara perekonomian dan lingkungan dalam suatu konsep pembangunan berkelanjutan, harus segera dilakukan. Intinya, kita harus melindungi lingkungan hidup dan kebutuhan pembangunan ekonomi demi anak cucu mendatang, sehingga kemiskinan tidak lagi dituding sebagai penyebab utama dari degradasi lingkungan," ingatnya.

Jika benar kemiskinan menjadi alasan rusaknya lingkungan, tentunya akan memicu berbagai persoalan sosial yang sangat rumit. Setidaknya, butuh evaluasi terhadap program pengelolaan air bersih jangka panjang bagi khalayak ramai di negeri minyak ini. Program krisi air bersih ini dinilai sangat relevan jika dikaitkan dengan agenda penyelesaian pemenuhan kebutuhan dasar, sehingga hak atas air bersih, manusia, dan ekosistem akan tercapai. Mesti cuma setetes.*


0 komentar:

Posting Komentar

Prev Post Next Post Home