Candi Muara Takus di Riau |
"Banyak bukti menunjukkan, bahwa pusat kerajaan Sriwijaya ada di Desa Muara Takus, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau"
CEKAU.COM-Literatur sejarah pernah menyebut, pusat-pusat kerajaan ini berada di Palembang, Jambi, Malaya, Thailand, Jawa, bahkan Kampar, Riau. Jadi dimanakah kedudukan kerajaan Sriwijaya?
Para ahli sejarah, arkeolog dan ilmu-ilmu yang terkait, termasuk geologi, pernah silang sengketa soal pusat kerajaan Sriwijaya-kerajaan Melayu tua ini. Menurut Allatif, pemerhati sejarah Kabupaten Kampar, Riau, ini benar-benar meyakini bahwa pusat kerajaan Sriwijaya itu berada di Kabupaten Kampar, Riau.
Bukti Peninggalan Kerajaan Sriwijaya
Pelbagai alasan dan hipotesis Allatif, ungkapkan kepada cekau.com. Bahwa, seorang sarjana Budha asal Benggala, katanya, yang mengembangkan Budha Vajrayana di Tibet dalam kertas Durbodhaloka menyebutkan Pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa (988–1008) mempersembahkan sebuah Candi Cheng Tien Wan Shou, artinya Candi Bungsu kepada Kaisar Cina pada 1003. Kini Candi Bungsu ini, satu-satunya berada di Candi Muara Takus.
Bukti Peninggalan Kerajaan Sriwijaya
Pelbagai alasan dan hipotesis Allatif, ungkapkan kepada cekau.com. Bahwa, seorang sarjana Budha asal Benggala, katanya, yang mengembangkan Budha Vajrayana di Tibet dalam kertas Durbodhaloka menyebutkan Pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa (988–1008) mempersembahkan sebuah Candi Cheng Tien Wan Shou, artinya Candi Bungsu kepada Kaisar Cina pada 1003. Kini Candi Bungsu ini, satu-satunya berada di Candi Muara Takus.
Temuan ini dibuktikan Allatif, pada artefak, tembikar, kendi tempat air suci orang Hindu, piring dankeramik Cina, arca, (ada berbentuk orang, gajah dan harimau) di sekitar Desa Muara Takus.“Temuan-temuan yang bernilai sejarah ini, menunjukkan adanya hubungan dengan kerajaan Sriwijaya”. “Bukti-bukti lain, ternyata menyerupai dari temuan di Mantai, Srilangka dan Barus di Medan,” lanjut pengajar di SMU Kabupaten Kampar ini.
Uniknya, seorang warga menemukan sebuah dayung kapal layar sepanjang 7-12 meter di Desa Air Tiris. Sebuah kompas tertua di dunia dari bahan bambu, dan juga ditemukan batang kayu di bawah tanah berdiameter cincin sumur sepanjang 16 cincin, serta ada pula fosil siput (keong) raksasa sebesar drum dengan panjang 1,5 meter.
Analisis Allatif, temuan unik ini menunjukkan Desa Muara Takus, dulunya sebuah kota kerajaan Sriwijaya dengan pelabuhan besar, diantara dua sungai bermuara. Nah, di sungai inilah disebut Sungai Muara Takus, dekat Candi Muara Takus berada.
Silang Sengketa Para Ahli
Namun, jauh sebelum dugaan Allatif, sebuah penelitian geomorfologi dengan analisis dan dukungan data yang kuat pula, serta foto udara, telah di kupas Drs Sukmono. Ia arkeolog Indonesia, yang menyebut pusat kerajaan Sriwijaya berada di Jambi.
Bahkan Sukmono “menantang” argumen George Coedes yang menyatakan pusat kerajaan di Palembang. Kisruh ini terungkap pada Kongres Ilmiah Pasifik pada 1957, dipublikasi dalam “Geomorphology and the location of Criwijaya”, Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, April 1963.
Yang ditantang Sukmono bukan orang sembarangan. George Coedes seorang arkeolog dan sejarawan Prancis abad ke-20 yang bertunak pada penelitian di wilayah Asia Tenggara. Karya besarnya: The Indianized States of Southeast Asia, 1968, 1975 dan The Making of South East Asia, 1966. Karya terbesar Sukmono ini terinspirasi dari ahli geomorfologi Belanda, Obdeyn pada 1941-1944.
Obdeyn, menurut Sukmono, mempublikasi seri paper tentang perkembangan geomorfologi Sumatera Selatan dalam Tijdschrift. Kon. Ned. Aardr. Gen No 59-61 – hasil penelitian ini juga digunakan Bemmelen, 1949 dalam adikaryanya “The Geology of Indonesia”.
Yang jelas, hasil kesimpulan Sukmono, kerajaan ini, terkenal sebagai kerajaan maritim tertua di Indonesia dan kerajaan pertama nusantara menguasai wilayah Sumatera, semenanjung Malaya, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku dan Mindanao.
Catatan I-Tsing yang Terlupakan
Kini, silang sengketa para ahli atas pengakuan pusat kerjaan Sriwijaya, terbantahkan. Sebuah temuan lama yang tersembunyi dari karya Prof Dr Slamet Muljana, arkeolog dari negara yang sama, menulis dalam bukunya “Sriwijaya” tersemat nukilan sejarah dari catatan I-Tsing (Yi-Jing) pada 635-713. Ia seorang dari tiga penjelajah terkenal dari Cina. Kedua pendahulunya adalah Fa-Hsien dan Hsuan-Tsang.
Bagi Slamet, catatan ini sangat kuat. Bahwa I-Tsing pernah menulis keberadaan pusat kota Sriwijaya terletak di daerah khatulistiwa. Deskripsi tempat ini sangat jelas: “Apabila orang berdiri tepat pada tengah hari, maka tidak akan kelihatan bayangannya”. Jika dilihat dari lokasi bayang-bayang tersebut, maka letak Candi Muara Takus pada siang hari, berdasarkan garis khatulistiwa berada di titik nol atau tanpa ada bayangan.
Nah, jika Palembang, Jambi dan beberapa daerah lain juga negara di Asia Tenggara mengaku bahwa pusat kerajaan Sriwijaya ada di wilayah mereka, maka kita kembali kepada pangkal: catatan I-Tsing, bahwa pusat kerajaan Sriwijaya berada pada siang hari tidak ada bayang-bayang.
"Ini kuasa Allah. Dari dasar inilah, banyak bukti menunjukkan, bahwa pusat kerajaan Sriwijaya ada di Desa Muara Takus, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau," jelas Allatif.
Uniknya, seorang warga menemukan sebuah dayung kapal layar sepanjang 7-12 meter di Desa Air Tiris. Sebuah kompas tertua di dunia dari bahan bambu, dan juga ditemukan batang kayu di bawah tanah berdiameter cincin sumur sepanjang 16 cincin, serta ada pula fosil siput (keong) raksasa sebesar drum dengan panjang 1,5 meter.
Analisis Allatif, temuan unik ini menunjukkan Desa Muara Takus, dulunya sebuah kota kerajaan Sriwijaya dengan pelabuhan besar, diantara dua sungai bermuara. Nah, di sungai inilah disebut Sungai Muara Takus, dekat Candi Muara Takus berada.
Silang Sengketa Para Ahli
Namun, jauh sebelum dugaan Allatif, sebuah penelitian geomorfologi dengan analisis dan dukungan data yang kuat pula, serta foto udara, telah di kupas Drs Sukmono. Ia arkeolog Indonesia, yang menyebut pusat kerajaan Sriwijaya berada di Jambi.
Bahkan Sukmono “menantang” argumen George Coedes yang menyatakan pusat kerajaan di Palembang. Kisruh ini terungkap pada Kongres Ilmiah Pasifik pada 1957, dipublikasi dalam “Geomorphology and the location of Criwijaya”, Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, April 1963.
Yang ditantang Sukmono bukan orang sembarangan. George Coedes seorang arkeolog dan sejarawan Prancis abad ke-20 yang bertunak pada penelitian di wilayah Asia Tenggara. Karya besarnya: The Indianized States of Southeast Asia, 1968, 1975 dan The Making of South East Asia, 1966. Karya terbesar Sukmono ini terinspirasi dari ahli geomorfologi Belanda, Obdeyn pada 1941-1944.
Obdeyn, menurut Sukmono, mempublikasi seri paper tentang perkembangan geomorfologi Sumatera Selatan dalam Tijdschrift. Kon. Ned. Aardr. Gen No 59-61 – hasil penelitian ini juga digunakan Bemmelen, 1949 dalam adikaryanya “The Geology of Indonesia”.
Yang jelas, hasil kesimpulan Sukmono, kerajaan ini, terkenal sebagai kerajaan maritim tertua di Indonesia dan kerajaan pertama nusantara menguasai wilayah Sumatera, semenanjung Malaya, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku dan Mindanao.
Catatan I-Tsing yang Terlupakan
Kini, silang sengketa para ahli atas pengakuan pusat kerjaan Sriwijaya, terbantahkan. Sebuah temuan lama yang tersembunyi dari karya Prof Dr Slamet Muljana, arkeolog dari negara yang sama, menulis dalam bukunya “Sriwijaya” tersemat nukilan sejarah dari catatan I-Tsing (Yi-Jing) pada 635-713. Ia seorang dari tiga penjelajah terkenal dari Cina. Kedua pendahulunya adalah Fa-Hsien dan Hsuan-Tsang.
Bagi Slamet, catatan ini sangat kuat. Bahwa I-Tsing pernah menulis keberadaan pusat kota Sriwijaya terletak di daerah khatulistiwa. Deskripsi tempat ini sangat jelas: “Apabila orang berdiri tepat pada tengah hari, maka tidak akan kelihatan bayangannya”. Jika dilihat dari lokasi bayang-bayang tersebut, maka letak Candi Muara Takus pada siang hari, berdasarkan garis khatulistiwa berada di titik nol atau tanpa ada bayangan.
Nah, jika Palembang, Jambi dan beberapa daerah lain juga negara di Asia Tenggara mengaku bahwa pusat kerajaan Sriwijaya ada di wilayah mereka, maka kita kembali kepada pangkal: catatan I-Tsing, bahwa pusat kerajaan Sriwijaya berada pada siang hari tidak ada bayang-bayang.
"Ini kuasa Allah. Dari dasar inilah, banyak bukti menunjukkan, bahwa pusat kerajaan Sriwijaya ada di Desa Muara Takus, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau," jelas Allatif.
Namun sayang, mengapa Prof Slamet melupakan pernyataan I-Tsing ini, tentang keberadaan pusat kerajaan Sriwijaya seperti ditulis penjelajah terkenal dari China, catatan I-Tsing, terkait bayang-bayang di welacakra. “Mengapa meniadakan kata-kata ini?” tanya Allatif. “Justru dari sinilah kita merujuk bahwa, letak bayangan dari sinar matahari ini akan bertalian dengan posisi Ibukota Sriwijaya di Kampar, Riau,” yakin Allatif.*
Gila..? Tulisan yang penuh dengan data dan analisis yang hebat. UNESCO harus tahu ini. Salut, bro? Jadi pengen ke sana.
BalasHapusTulisan yang menarik sebagai referensi oleh mahasiswa.
BalasHapus“Apabila orang berdiri tepat pada tengah hari, maka tidak akan kelihatan bayangannya”???
BalasHapusmsh perlu dikaji lagi..