Pareng Rengi, M.Si |
CEKAU.COM-Bukan keprihatinan itu yang menyebabkan ia telaah. Apa yang ia sadari, tiba-tiba, yang selama ini direnungkan. Adalah negeri kita di ujung itu: pesisir. Keprihatinan seperti halnya kebanggaan, juga kecemasan, seperti halnya optimisme. Semua itu adalah pertanda rasa ikut memiliki. Dan rasa terpanggil.
Anak pesisir itu bernama Pareng Rengi. Dalam hidup ia adalah seorang optimisme. Langkahnya yang tegap menunjukkan keyakinan diri dalam bertindak. Yang kita tidak tahu adalah Pareng Rengi ternyata bisa bicara tentang filsafat hidup. Ini terjadi ketika ia di wawancarai cekau.com, pekan lalu. Dia menyebut tentang hakikat hidup.
Memang, ia hidup dalam sebuah masyarakat yang madani dan praktis dalam kekeluargaan yang harmonis. Lelaki bertubuh tambun ini, mengapai impian dengan sukses lantaran tahan merangkak dari bawah secara habis-habisan. Dari semangat hidupnya, Pareng bukanlah terlahir dari kota besar. Di pesisir itulah ia berteriak. ”Aku harus hidup!”. Dan, Pareng bekerja untuk hidup adalah ibadah, seperti ia tak akan punya kesempatan lagi esok. Tekad inilah yang mengaungkannya.
Sebagaimana ia membentuk dirinya sendiri, dari masyarakat yang dikenal mandiri dan kuat. Makhluk yang tidak suka berleha-leha dan berfoya-foya. Lelaki yang tidak merokok dan tak mau mabuk. Suka sport dan bekerja mati-matian. Ia melihat pengalaman hidup dengan cermat dan perbedaan-perbedaan setiap sisi memberikan jalan terang. Bahwa ada yang harus diperbuat untuk sebuah pengalaman hidup di wilayah pesisir. Ia memang tak mudah beranjak dari asalnya.
Berbual di ruang kerjanya, Pareng bercerita tentang hasrat kepedulian. Tentang kehidupan kemasyarakatan, dan lingkungan wilayah pesisir. Ia tahu jalan hidup telah digariskan. Ia memulai dengan kata satu-satu. Ada sesuatu dalam pikirannya. Terbentuk dalam pola yang terarah. Ia berpijak pada semangat dan petuah orang tua-tua.
Anak pesisir itu bernama Pareng Rengi. Dalam hidup ia adalah seorang optimisme. Langkahnya yang tegap menunjukkan keyakinan diri dalam bertindak. Yang kita tidak tahu adalah Pareng Rengi ternyata bisa bicara tentang filsafat hidup. Ini terjadi ketika ia di wawancarai cekau.com, pekan lalu. Dia menyebut tentang hakikat hidup.
Memang, ia hidup dalam sebuah masyarakat yang madani dan praktis dalam kekeluargaan yang harmonis. Lelaki bertubuh tambun ini, mengapai impian dengan sukses lantaran tahan merangkak dari bawah secara habis-habisan. Dari semangat hidupnya, Pareng bukanlah terlahir dari kota besar. Di pesisir itulah ia berteriak. ”Aku harus hidup!”. Dan, Pareng bekerja untuk hidup adalah ibadah, seperti ia tak akan punya kesempatan lagi esok. Tekad inilah yang mengaungkannya.
Sebagaimana ia membentuk dirinya sendiri, dari masyarakat yang dikenal mandiri dan kuat. Makhluk yang tidak suka berleha-leha dan berfoya-foya. Lelaki yang tidak merokok dan tak mau mabuk. Suka sport dan bekerja mati-matian. Ia melihat pengalaman hidup dengan cermat dan perbedaan-perbedaan setiap sisi memberikan jalan terang. Bahwa ada yang harus diperbuat untuk sebuah pengalaman hidup di wilayah pesisir. Ia memang tak mudah beranjak dari asalnya.
Berbual di ruang kerjanya, Pareng bercerita tentang hasrat kepedulian. Tentang kehidupan kemasyarakatan, dan lingkungan wilayah pesisir. Ia tahu jalan hidup telah digariskan. Ia memulai dengan kata satu-satu. Ada sesuatu dalam pikirannya. Terbentuk dalam pola yang terarah. Ia berpijak pada semangat dan petuah orang tua-tua.
Dari pesisir Desa Pengalihan, Kecamatan Enok, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau, ia terlatih untuk bangun pagi-pagi. Sebelum berangkat ke sekolah, tempat ia tinggal sudah dibelah-belah tempurung kelapa. Isi diambil untuk dijadikan kopra. Sepulang dari sekolah pun kembali ke ranahnya. Kadang, di tepian sungai Enok, ia menceburkan tubuhnya dari sisa ampas serabut kelapa.*
0 komentar:
Posting Komentar