Candi Muara Takus, Riau |
"Tersebut, Pusat Kerajaan Sriwijaya berada di Desa Muara Takus, Kabupaten Kampar, Riau-Indonesia"
CEKAU.COM-Para ahli sejarah dan arkeolog “bercekak” dalam guratan kata-kata. Mereka mempersoalkan keberadaan pusat kerajaan Sriwijaya. Tiga provinsi dan dua negara pun ikut silang sengketa, bahwa di daerah mereka lah pusat kerjaan Sriwijaya itu.
Tapi kini, polemik itu terurai sudah. Kerajaan maritim tertua di Indonesia itu ternyata berpusat di Desa Muara Takus, Kabupaten Kampar, Riau-Indonesia. Bukti ini terkuak dari catatan perjalanan musafir Cina, I-ts’ing, 'yang diabaikan' para ahli. Ada kepentingan sepihak?
Polemik Sejarah Kampar yang Terlupakan
CEKAU.COM-Berdiri tegap di atas podium, Drs Burhanuddin Husin MM, Bupati Kampar ini, berkeluh kesah. Keresahan itu terlihat di hadapan sejumlah wartawan media massa, pada hajatan Pers Tour Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Riau, di Kabupaten Kampar, Kamis (21/4). Suaranya agak parau tapi jelas, berbicara tentang keprihatinan: asal-muasal nama Kampar dan sejarah kerajaan Sriwijaya.
Ada keraguan dibenaknya, tapi Burhanuddin mencoba mencari “sesuatu yang hilang” dalam mengurai sejarah itu, bak benang kusut. Mesti waktu terbatas, ia mengupas idenya dan diterima kaum adat, tokoh agama, masyarakat dan pemerhati sejarah Kampar. Tapi baginya, perjuangan tapak tilas perjalanan sejarah panjang itu terbentang dalam nukilan yang perlu diluruskan.
“Siapa lagi yang memulai sejarah Kabupaten Kampar dan kerajaan Sriwijaya ini. Kalau dibiarkan berlarut-larut, tentunya akan punah tergerus waktu,” gusar Burhanuddin.
Niat dari bupati ini disambut baik Azaly Djohan, tokoh masyarakat Riau. Katanya, hajat ini perlu didukung semua pihak dalam mencari jalan dan harapan yang masih terentang panjang. Dengan memecahkan dilemanya yang terbesar, sejarah Kabupaten Kampar, dengan nukilan sejarah kerajaan Sriwijaya ini harus berdiri atas asas demokrasi dan ilmu pengetahuan.
“Sejarah tentang keberadaan pusat kerajaan Sriwijaya pada Candi Muara Takus ini harus diluruskan dan semua pihak harus mendukung hajat yang baik ini,” ucap Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) Provinsi Riau.
Begitu pula dengan Encik Zulkifli, yang dituakan dari keturunan Tapung, Kampar, menyambangi gagasan ini. Katanya, bagaimanapun jua, ini adalah sebuah ide yang bisa menyeberangi lautan. Ia bisa menyusup ke sebuah situasi yang memang pas untuknya—dan jadi kuat atau mengejutkan bagi khalayak.
“Kalau salah dan silih, mungkin kita perlu diluruskan. Mana ada sungai tak bersampah, mana ada pula tebu tak beruas. Yang penting, ide ini harus disambut baik,” ucap Encik yang acap disapa Pak Itam.
Tak hanya melibatkan pemuka masyarakat, Burhanuddin juga bersuara keras dan percaya bahwa kebenaran moral tetap penting, biar pun terpojok dalam kancah sejarah Kampar, yang kini mulai tergerus waktu yang tak tepat.
“Saya yakinkan masih banyak sejarah Kampar, terutama keberadaan Candi Muara Takus adalah sisa peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang berada di Desa Muara Takus Kecamatan XIII Koto Kampar, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau, Indonesia. Bukan dari daerah lain,” terangnya mengebu-gebu.
Itulah ciptaan heroisme hati yang ia torehkan cukup lama. “Bertahun-tahun hajat ini lama terpendam,” kata Burhanuddin, sambil menghela nafas yang panjang. “Sekarang dengan melibatkan dunia pers, setidaknya upaya mengangkat harkat dan martabat negeri Kampar dapat ditorehkan dalam sebuah bingkisan sejarah panjang,” lanjutnya.
Mungkin ini sekelumit kegundahan sang Bupati. Bila kini pemikirannya menarik perhatian lagi, maka sebuah kumpulan tulisan harus di terbit ulang dalam Bahasa Indonesia yang disempurnakan pada 2012, dengan nukilan sejarah kerajaan Sriwijaya dan Kabupaten Kampar: Dulu dan Kini.
“Pelbagai panduan sejarah Kampar, masyarakat kita hanya dituntun dengan kajian yang ada, tanpa melihat kondisi sebenarnya. Kebebasan yang tak terbatas untuk memahami yang salah, terus terjadi hingga kini,” gusar Burhanuddin.
Hajat ini praktis tak bisa di setop. Tiap usaha mengatasi referensi itu bisa dilakukan dengan kajian yang khusus. Dalam memberikan pemberitaan yang bertanggungjawab dan profesional, Pemerintah Kabupaten Kampar, akan terus memberikan referensi dengan jalin-menjalin secara sengaja meluruskan sejarah yang ada.
Demikian disampaikan Allatif Hasim, anak jati yang juga pemerhati sejarah Kampar, di kawasan Candi Muara Takus, Desa Muara Takus. Aktor utama dalam jamuan Pers Tour ini begitu bertutur saat menyampaikan sejarah dan temuannya kepada sejumlah wartawan.
“Ada sesuatu yang terlupakan bagi semua umat tentang asal-usul nama Kampar. Bahkan, keberadaan situs budaya Candi Muara Takus, terpatri dalam benang yang kusut,” ucapnya.
Bersambung: Baca: Silang Sengketa Pusat Kerajaan Sriwijaya.*
Polemik Sejarah Kampar yang Terlupakan
CEKAU.COM-Berdiri tegap di atas podium, Drs Burhanuddin Husin MM, Bupati Kampar ini, berkeluh kesah. Keresahan itu terlihat di hadapan sejumlah wartawan media massa, pada hajatan Pers Tour Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Riau, di Kabupaten Kampar, Kamis (21/4). Suaranya agak parau tapi jelas, berbicara tentang keprihatinan: asal-muasal nama Kampar dan sejarah kerajaan Sriwijaya.
Ada keraguan dibenaknya, tapi Burhanuddin mencoba mencari “sesuatu yang hilang” dalam mengurai sejarah itu, bak benang kusut. Mesti waktu terbatas, ia mengupas idenya dan diterima kaum adat, tokoh agama, masyarakat dan pemerhati sejarah Kampar. Tapi baginya, perjuangan tapak tilas perjalanan sejarah panjang itu terbentang dalam nukilan yang perlu diluruskan.
“Siapa lagi yang memulai sejarah Kabupaten Kampar dan kerajaan Sriwijaya ini. Kalau dibiarkan berlarut-larut, tentunya akan punah tergerus waktu,” gusar Burhanuddin.
Niat dari bupati ini disambut baik Azaly Djohan, tokoh masyarakat Riau. Katanya, hajat ini perlu didukung semua pihak dalam mencari jalan dan harapan yang masih terentang panjang. Dengan memecahkan dilemanya yang terbesar, sejarah Kabupaten Kampar, dengan nukilan sejarah kerajaan Sriwijaya ini harus berdiri atas asas demokrasi dan ilmu pengetahuan.
“Sejarah tentang keberadaan pusat kerajaan Sriwijaya pada Candi Muara Takus ini harus diluruskan dan semua pihak harus mendukung hajat yang baik ini,” ucap Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) Provinsi Riau.
Begitu pula dengan Encik Zulkifli, yang dituakan dari keturunan Tapung, Kampar, menyambangi gagasan ini. Katanya, bagaimanapun jua, ini adalah sebuah ide yang bisa menyeberangi lautan. Ia bisa menyusup ke sebuah situasi yang memang pas untuknya—dan jadi kuat atau mengejutkan bagi khalayak.
“Kalau salah dan silih, mungkin kita perlu diluruskan. Mana ada sungai tak bersampah, mana ada pula tebu tak beruas. Yang penting, ide ini harus disambut baik,” ucap Encik yang acap disapa Pak Itam.
Tak hanya melibatkan pemuka masyarakat, Burhanuddin juga bersuara keras dan percaya bahwa kebenaran moral tetap penting, biar pun terpojok dalam kancah sejarah Kampar, yang kini mulai tergerus waktu yang tak tepat.
“Saya yakinkan masih banyak sejarah Kampar, terutama keberadaan Candi Muara Takus adalah sisa peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang berada di Desa Muara Takus Kecamatan XIII Koto Kampar, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau, Indonesia. Bukan dari daerah lain,” terangnya mengebu-gebu.
Itulah ciptaan heroisme hati yang ia torehkan cukup lama. “Bertahun-tahun hajat ini lama terpendam,” kata Burhanuddin, sambil menghela nafas yang panjang. “Sekarang dengan melibatkan dunia pers, setidaknya upaya mengangkat harkat dan martabat negeri Kampar dapat ditorehkan dalam sebuah bingkisan sejarah panjang,” lanjutnya.
Mungkin ini sekelumit kegundahan sang Bupati. Bila kini pemikirannya menarik perhatian lagi, maka sebuah kumpulan tulisan harus di terbit ulang dalam Bahasa Indonesia yang disempurnakan pada 2012, dengan nukilan sejarah kerajaan Sriwijaya dan Kabupaten Kampar: Dulu dan Kini.
“Pelbagai panduan sejarah Kampar, masyarakat kita hanya dituntun dengan kajian yang ada, tanpa melihat kondisi sebenarnya. Kebebasan yang tak terbatas untuk memahami yang salah, terus terjadi hingga kini,” gusar Burhanuddin.
Hajat ini praktis tak bisa di setop. Tiap usaha mengatasi referensi itu bisa dilakukan dengan kajian yang khusus. Dalam memberikan pemberitaan yang bertanggungjawab dan profesional, Pemerintah Kabupaten Kampar, akan terus memberikan referensi dengan jalin-menjalin secara sengaja meluruskan sejarah yang ada.
Demikian disampaikan Allatif Hasim, anak jati yang juga pemerhati sejarah Kampar, di kawasan Candi Muara Takus, Desa Muara Takus. Aktor utama dalam jamuan Pers Tour ini begitu bertutur saat menyampaikan sejarah dan temuannya kepada sejumlah wartawan.
“Ada sesuatu yang terlupakan bagi semua umat tentang asal-usul nama Kampar. Bahkan, keberadaan situs budaya Candi Muara Takus, terpatri dalam benang yang kusut,” ucapnya.
Bersambung: Baca: Silang Sengketa Pusat Kerajaan Sriwijaya.*
0 komentar:
Posting Komentar