(Bagian ke-2) |
GELAP sudah jatuh. Adzan Isya mulai terdengar dari Mesjid, Kampung Tanjung Rhu. Satu-satu pelayat mulai tampak melangkahkan kaki meninggalkan rumah duka. Dua anak Asmah, Gadis dan Jantan disapa para pelayat. Ada yang mengusap rambutnya, ada pula yang menyisipkan lembaran uang kertas, saat menyalami kedua bocah kecil itu. Sedangkan Cik Bulan, tetap tak berajak di samping dua ponakannya, sembari ucapan terimakasih pula.
Kepada Asmah, pera pelayat pun kembali mengingatkan, bahwa kesabaran dalam menghadapi cobaan ini sangat dibutuhkan. Apalagi kedua anak-anaknya masih kecil dan perlu perlindungan. Dibalik jilbab hitam yang dikenanya, nampak sesekali Asmah mengusap air matanya dengan tisu, sembari menyalami dan mengucapkan rasa terimakasih atas dukungan dan nasehat para pelayat. Rupanya, sitawar-sidingin yang disampaikan oleh tetua-tetua kampung itu, cukup memberikan kesejukan hatinya sesaat.
Satu-satu pelayat mulai berangsur balik. Cik Bulan, ikut melepas kepergian para tamu. Duduk diantara dua cucunya, nenek itu menuturkan rasa terimakasih atas kesempatan untuk hadir di rumah ponakannya. Kepada Asmah, pelayat pun tetap memberikan petuah semangat, agar ia tabah dan menerima kehendak Allah ini.
"Tenangkan hati mu, Mah. Semua cobaan ini tentu atas kehendak Allah," begitu umumnya mereka mengingatkan sebelum meninggalkan rumah duka.
Petang Jumat itu, adalah berita paling buruk yang diterima Asmah. Apalagi berita itu, ia dapat dari tetangga, ketika ia duduk di pengajian mesjid belakang rumah. Sebelumnya, ia sudah diingatkan suami, bahwa petang ini tak usah dulu ikut pengajian. "Kepala abang sakit. Bantu jemput anak sekolah, tunda dulu pengajian di mesjid itu". Begitu ingat Kalang, kepada istrinya.
Padahal siangnya, mendiang sempat bergurau, usai mengantar Gadis sekolah, agar hari itu tidak usah masak, cukup beli di kedai nasi Padang di simpang empat jalan besar. Seperti tempat biasa mereka beli, bila ada duit lebih.
"Tak usah masak lagi, dek," begitu Kalang meminta, dengan memanggil istrinya 'dek'.
Kepada Asmah, pera pelayat pun kembali mengingatkan, bahwa kesabaran dalam menghadapi cobaan ini sangat dibutuhkan. Apalagi kedua anak-anaknya masih kecil dan perlu perlindungan. Dibalik jilbab hitam yang dikenanya, nampak sesekali Asmah mengusap air matanya dengan tisu, sembari menyalami dan mengucapkan rasa terimakasih atas dukungan dan nasehat para pelayat. Rupanya, sitawar-sidingin yang disampaikan oleh tetua-tetua kampung itu, cukup memberikan kesejukan hatinya sesaat.
Satu-satu pelayat mulai berangsur balik. Cik Bulan, ikut melepas kepergian para tamu. Duduk diantara dua cucunya, nenek itu menuturkan rasa terimakasih atas kesempatan untuk hadir di rumah ponakannya. Kepada Asmah, pelayat pun tetap memberikan petuah semangat, agar ia tabah dan menerima kehendak Allah ini.
"Tenangkan hati mu, Mah. Semua cobaan ini tentu atas kehendak Allah," begitu umumnya mereka mengingatkan sebelum meninggalkan rumah duka.
Petang Jumat itu, adalah berita paling buruk yang diterima Asmah. Apalagi berita itu, ia dapat dari tetangga, ketika ia duduk di pengajian mesjid belakang rumah. Sebelumnya, ia sudah diingatkan suami, bahwa petang ini tak usah dulu ikut pengajian. "Kepala abang sakit. Bantu jemput anak sekolah, tunda dulu pengajian di mesjid itu". Begitu ingat Kalang, kepada istrinya.
Padahal siangnya, mendiang sempat bergurau, usai mengantar Gadis sekolah, agar hari itu tidak usah masak, cukup beli di kedai nasi Padang di simpang empat jalan besar. Seperti tempat biasa mereka beli, bila ada duit lebih.
"Tak usah masak lagi, dek," begitu Kalang meminta, dengan memanggil istrinya 'dek'.
Padahal, saya tahu Mak Cik, abang itu belum dapat duit. Mana mungkin kami beli nasi Padang?" kata Asmah, sambil menatap suaminya, seperti tersenyum terbujur kaku dihadapannya.
"Usahlah, tak perlu kau mencari penyebab atas kematian suami kau, Mah. Itu rahasia Allah," ingat Mak Cik Bulan, adik bungsu emaknya, membujuk.* (Bersambung Bagian ke Tiga)
0 komentar:
Posting Komentar