CEKAU.COM-Sahidin dan Atan, adalah dua nelayan warga Pekanbaru yang hidupnya harus beralih profesi 'menangkap' kemasan minuman mineral. Sekedar menyambung hidup, mereka tetap berazam pada wilayah yang sudah tergerus zaman. Meski polusi, abrasi dan sumberdaya alam semakin luluhlantak.
Sahidin (63), mantan nelayan penangkap ikan ini merasa hidupnya telah terpinggirkan. Dulu tahun 1980-an, di sungai Siak, atau disebut sungai Jantan, ia berprofesi sebagai nelayan, banyak ikan yang ia tangkap. ”Kalau pagi saya menjala dan sorenya saya memancing. Saya sering mendapatkan udang, ikan baung, juaro, asau. Per hari bisa dapat 7-8 kilogram. Ini cukuplah untuk keluarga,” akunya dengan senyum, kepada Metro Riau.
Tapi, kini paras Sahidin tak muda lagi. Ayah beranak enam ini, mulai murung ketika menuturkan kualitas air yang mulai menurut sejak 90-an. Akibatnya, banyak ikan mati. ”Sekarang ini susah mencari ikan. Air sungai sudah berubah berwarna putih susu, hitam pekat kental, berlendir dan coklat bening. Mungkin karena limbah sawit dari hulu,” simpulnya.
Akibat sumberdaya perikanan semakin sulit, Sahidin jadi tahu. Hidup ini tidak mungkin selalu bergantung pada alam. Ia tidak punya keahlian lain. Yang ia tahu hanyalah menjala dan memancing. Mungkin sedikit membelat diantara anak sungai. ”Saya tak pandai kerja lain, yang saya tahu hanya memancing, membelat atau menjala,” terang Sahidin, di atas sampan kayu yang sudah mulai rapuh.
Ada kerisauan dibenaknya. Ada rasa takut untuk menggapai hidup di hari tua. Ia tahu dan itu sulit baginya untuk merubah. Dan, ketika alam mulai bicara, ia sadar, tak banyak lagi yang harus diperbuat di sepanjang sungai Siak itu. Ia mencoba mencari kerja lain. Mesti berat dipikirannya. Namun, dukungan keluarga menjadi rangsangan baginya untuk mencari sampah minuman bekas.
Sejak 2008, ia beralih profesi menjadi nelayan pengutip sampah. Ia bangga karena ia masih berada di sungai. Dan, di sungai Siak inilah ia berharap. ”Saya sebagai nelayan dan tetap sebagai nelayan. Mesti yang saya tangkap bukan ikan lagi,” kata Sahidin dengan gelak tawanya yang lepas.
Sahidin, satu dari sekian banyak nelayan yang hidup dipinggiran sungai Siak, yang beralih profesi.
Lingkungan mungkin sudah tidak bersahabat lagi. Pengembangan kota Pekanbaru juga menjadi alasan mengapa sumberdaya alam menjadi pasal muasal, kehidupan masyarakat pesisir semakin terpinggirkan. Sebut saja dialami Atan Sengat (54), yang semenjak dulu para leluhurnya sudah bermastautin di pesisir Jalan Tanjung Batu, Kecamatan Rintis, Pekanbaru, bekerja sebagai nelayan.
Bau tak sedap dari limbah pabrik karet yang ada di kampungnya, membuat Atan tak bisa berbuat banyak. Paling-paling ia harus menutup hidung rapat kuat-kuat pada subuh dan petang menjemput malam. "Bau itu memang tak sedap. Kalau setiap hari seperti ini, maka warga kampung kalau sudah bercakap maka mulutnya pun bau ojol getah," ujar Atan, sembari ketawa, dimuka Metro Riau.
Meski sudah berubah profesi menjadi 'penangkap' kemasan minuman mineral, namun, ia tetap berazam dalam keyakinannya. Belum lagi abrasi di sepanjang pesisir sungai Siak. Rumahnya yang dulu berhalaman luas, kini lesap di bawa air. Tinggal semeter dan itupun harus ia topang dengan penyangga kayu bakau berukuran kecil. "Inilah nasib kami, sudah terpinggir tertimpa tangga lagi," kias Atan, yang mengaku mengumpulkan gelas minuman bekas dalam sehari tak sampai satu kilo.*
Sahidin (63), mantan nelayan penangkap ikan ini merasa hidupnya telah terpinggirkan. Dulu tahun 1980-an, di sungai Siak, atau disebut sungai Jantan, ia berprofesi sebagai nelayan, banyak ikan yang ia tangkap. ”Kalau pagi saya menjala dan sorenya saya memancing. Saya sering mendapatkan udang, ikan baung, juaro, asau. Per hari bisa dapat 7-8 kilogram. Ini cukuplah untuk keluarga,” akunya dengan senyum, kepada Metro Riau.
Tapi, kini paras Sahidin tak muda lagi. Ayah beranak enam ini, mulai murung ketika menuturkan kualitas air yang mulai menurut sejak 90-an. Akibatnya, banyak ikan mati. ”Sekarang ini susah mencari ikan. Air sungai sudah berubah berwarna putih susu, hitam pekat kental, berlendir dan coklat bening. Mungkin karena limbah sawit dari hulu,” simpulnya.
Akibat sumberdaya perikanan semakin sulit, Sahidin jadi tahu. Hidup ini tidak mungkin selalu bergantung pada alam. Ia tidak punya keahlian lain. Yang ia tahu hanyalah menjala dan memancing. Mungkin sedikit membelat diantara anak sungai. ”Saya tak pandai kerja lain, yang saya tahu hanya memancing, membelat atau menjala,” terang Sahidin, di atas sampan kayu yang sudah mulai rapuh.
Ada kerisauan dibenaknya. Ada rasa takut untuk menggapai hidup di hari tua. Ia tahu dan itu sulit baginya untuk merubah. Dan, ketika alam mulai bicara, ia sadar, tak banyak lagi yang harus diperbuat di sepanjang sungai Siak itu. Ia mencoba mencari kerja lain. Mesti berat dipikirannya. Namun, dukungan keluarga menjadi rangsangan baginya untuk mencari sampah minuman bekas.
Sejak 2008, ia beralih profesi menjadi nelayan pengutip sampah. Ia bangga karena ia masih berada di sungai. Dan, di sungai Siak inilah ia berharap. ”Saya sebagai nelayan dan tetap sebagai nelayan. Mesti yang saya tangkap bukan ikan lagi,” kata Sahidin dengan gelak tawanya yang lepas.
Sahidin, satu dari sekian banyak nelayan yang hidup dipinggiran sungai Siak, yang beralih profesi.
Lingkungan mungkin sudah tidak bersahabat lagi. Pengembangan kota Pekanbaru juga menjadi alasan mengapa sumberdaya alam menjadi pasal muasal, kehidupan masyarakat pesisir semakin terpinggirkan. Sebut saja dialami Atan Sengat (54), yang semenjak dulu para leluhurnya sudah bermastautin di pesisir Jalan Tanjung Batu, Kecamatan Rintis, Pekanbaru, bekerja sebagai nelayan.
Bau tak sedap dari limbah pabrik karet yang ada di kampungnya, membuat Atan tak bisa berbuat banyak. Paling-paling ia harus menutup hidung rapat kuat-kuat pada subuh dan petang menjemput malam. "Bau itu memang tak sedap. Kalau setiap hari seperti ini, maka warga kampung kalau sudah bercakap maka mulutnya pun bau ojol getah," ujar Atan, sembari ketawa, dimuka Metro Riau.
Meski sudah berubah profesi menjadi 'penangkap' kemasan minuman mineral, namun, ia tetap berazam dalam keyakinannya. Belum lagi abrasi di sepanjang pesisir sungai Siak. Rumahnya yang dulu berhalaman luas, kini lesap di bawa air. Tinggal semeter dan itupun harus ia topang dengan penyangga kayu bakau berukuran kecil. "Inilah nasib kami, sudah terpinggir tertimpa tangga lagi," kias Atan, yang mengaku mengumpulkan gelas minuman bekas dalam sehari tak sampai satu kilo.*
semoga bermanfaat
BalasHapuskasian
BalasHapusairnya kok jadi outih susu?
BalasHapussalam kenal
BalasHapuspekan baru itu dekat dimana?
BalasHapusairnya pengaruh apa ya?
BalasHapusikut berprihatin pak
BalasHapusia pak sekarang sudah banyak nelayan yang di kesampingkan
BalasHapusdulu saya juga seorang nelayan pak
BalasHapussekarang banyak saingan nelayan pak
BalasHapussusah pak sekarang cari ikan
BalasHapuskok sungai nya banyak sampah pak?
BalasHapussabar sabar dulu aja pak
BalasHapussemoga cepat berhasil pak
BalasHapus