Hj Raja Susi bersama Kristin Hakim |
Sungguh menyedihkan memang: makin sedikit orang yang cukup punya kehormatan untuk tidak mengemis-ngemis, yang cukup luhur untuk melihat dirinya justru sebagai orang yang melayani kewajiban.
Mungkin karena rasa bersalah itulah—setengah ia berbisik, perjuangan untuk mengatakan dari dalam, apa yang terlihat, teraba, dan terdengar di sana. Lalu ia melihat hidup akan berakhir jadi lebih baik. “Selalu ada berkah dalam penderitaan, begitu kira-kira,” simpulnya.
Sampai ia membaca koran pagi hari itu. Dan, sebuah dialog-tentu saja hanya fantasi-berkecamuk di kepalanya. Seseorang yang punya jabatan dalam pelayanan masyarakat, hingga lupa untuk berdiri. Bila keindahan yang mereka coba utarakan itu, tak ada sangkut pautnya dengan mereka-reka kehidupan masyarakat kecil.
Mungkin bisa dibayangkan apa yang terjadi. Ia bicara tentang rakyat. Namun, hanya selintas ia bicara tentang kepedulian. Mereka juga punya hak untuk kekuasaan dan kemewahan. Tapi, ia pun menyaksikan kecemburuan dan nafsu di sekitarnya, mesti untuk kemewahan-kemewahan kecil.
Lalu, perempuan murah senyum ini membasuh parasnya. Ia tahu, dalam koran hanya ada proses dalam hidup. Ia belajar tentang kebajikan menahan diri dan bersikap mengalah.
Dalam pikiran dan pengalamannya, Susi yang juga pengurus DPD Partai Demokrat Provinsi Riau, ini bisa mengurai satu-satu. Dia bergumul dan bertukar gagasan. Dia belajar sambil merenung dari orang lain. Kadang meletakkan kuping dan hatinya kepada realitas-realitas kehidupan masyarakat.
Lalu, menelaah serta memungut banyak dari untaian kata bijak. Bahkan juga memetik ribuan lembar kertas tentang petatah-petitih dan petuah Melayu.
Ibunda dari RM Fadli ini dilatih untuk memandang rendah segala hasrat menuntut benda duniawi. Maka mungkin ia ragu, bisakah ia mengharapkan kemuliaan hati manusia? Itu pertanyaan yang sangat berat, memang. Dan, dalam diamnya, ia bertanya lagi. Kepada cekau.com, ia pun berlafaz: manakah yang benar bagi kita semua, hasrat duniawi atau tiadanya hasrat itu?
Puan Melayu ini pun kembali membisu. Ia menatap ke balok kuda-kuda kayu interior ruang makan di Jalan Soekarno Hatta yang terbuka. Langit-langit itu memang tinggi. Sehingga, angin pun dengan leluasa meruak masuk berputar dalam ruangan. Sejuk.*
0 komentar:
Posting Komentar