4 Anggota RRF Riau Club |
CEKAU.COM-Selama 20 Jam bersepeda, Komunitas Rumbai Raiders Fixie (RRF) Club Riau berhasil mengalahkan jarak sepanjang 220 Kilometer dari Bukit Tinggi menuju Pekanbaru. Menikmati alam bebas ini adalah sebuah konsep ramah lingkungan sebagai tekad yang diusung oleh komunitas ini pada 1 Januari 2012 lalu.
Berpetualang di alam bebas cycling (bersepeda) oleh para Fixier ini ternyata hanya bermodalkan keberanian, kecakapan dan niat. Maka, bisa dikatakan kegiatan ekstrem ini sangat berat dilakukan seorang fixier, apalagi dengan kondisi sepeda jenis fixie, yang terbilang 'apa adanya'.
Artinya, sepeda dengan kondisi tanpa rem, harus melintasi jalan berbukit-bukit, curam, bahkan terjang, sepanjang 220 Kilometer.
"Ya, kami berempat mencoba tiga hal dalam konsep program RRF Club, yakni keberanian, kecakapan dan niat. Alhamdulillah, kami berhasil mencapainya," kata Al Kausar, Ketua Tim perjalanan RRF Club Bukittinggi-Pekanbaru 2011 pada 1 Januari 2012, didampingi Nedi Panjang, Arip dan Kenoi, Sabtu (8/1) di Jalan Diponegoro, Pekanbaru.
Selain ketiga modal utama tadi, jelas Al Kausar, kode etik yang diusung para RRF Club pun harus tetap dijalani, yakni berpegang teguh dan berpartisipasi melestarian lingkungan hidup. "Inilah konsep RRF Club yang kami ketengahkan ke khalayak ramai," aku Nedi pula.
Wah, konsep inilah yang dikenalkan oleh empat fixier RRF Club ketika menjelajahi alam bebas. Keempat fixier ini, masing-masing Al Kausar (Ochar), Nedi (Bang Panjang), Arip (Ndut Oye) dan Kinoi (Kiting).
Dalam tim RRF Club ini, jelas Al Kausar, kode etik petualang itu pertama, take nothing but pictusre (jangan mengambil apapun kecuali gambar). Kedua, leave nothing but foot print (jangan meninggalkan apapun kecuali tapak kaki atau jejak), dan ketiga, kill nothing but time (jangan membunuh apapun kecuali waktu).
Maka tak heran, saat keempat fixier ini masuk ke alam bebas di wilayah Rantau Berangin, pukul 14.35 WIB, justru disambut dengan suara-suara Siamang-sejenis monyet berwarna putih keabuan dan berekor panjang. Ternyata jenis fauna langka ini masih mendiami hutan rimba itu.
"Ha... haa.. Ya, kami disambut para Siamang-Siamang itu, dengan suara histerisnya. Seremmm sih.. haaa..,?" aku Al Kausar, disapa Ochar, dengan tawa lepasnya.
"Lucu... haa.. haa, dan Alam memberikan petunjuk kepada kami, bahwa Siamang itu ternyata masih ada. Padahal, banyak yang bilang fauna ini sudah punah," jelas Arip, disapa Ndut Oye, dengan ketawa riangnya.
Sementara, Kinoi disapa Kiting, menuturkan konsep pelestarian lingkungan: Leave nothing but foot print. Bahwa, saat bertualang ini semua bekas kegiatan terutama sampah yang dihasilkan tidak boleh tertinggal.
"Sampah-sampah itu harus dibawa pulang kembali. Karena benda-benda tersebut, terutama plastik akan memberikan dampak buruk bagi kelestarian lingkungan. Termasuk jangan meninggalkan coretan di pohon maupun bebatuan," jelasnya.*
Berpetualang di alam bebas cycling (bersepeda) oleh para Fixier ini ternyata hanya bermodalkan keberanian, kecakapan dan niat. Maka, bisa dikatakan kegiatan ekstrem ini sangat berat dilakukan seorang fixier, apalagi dengan kondisi sepeda jenis fixie, yang terbilang 'apa adanya'.
Artinya, sepeda dengan kondisi tanpa rem, harus melintasi jalan berbukit-bukit, curam, bahkan terjang, sepanjang 220 Kilometer.
"Ya, kami berempat mencoba tiga hal dalam konsep program RRF Club, yakni keberanian, kecakapan dan niat. Alhamdulillah, kami berhasil mencapainya," kata Al Kausar, Ketua Tim perjalanan RRF Club Bukittinggi-Pekanbaru 2011 pada 1 Januari 2012, didampingi Nedi Panjang, Arip dan Kenoi, Sabtu (8/1) di Jalan Diponegoro, Pekanbaru.
Selain ketiga modal utama tadi, jelas Al Kausar, kode etik yang diusung para RRF Club pun harus tetap dijalani, yakni berpegang teguh dan berpartisipasi melestarian lingkungan hidup. "Inilah konsep RRF Club yang kami ketengahkan ke khalayak ramai," aku Nedi pula.
Wah, konsep inilah yang dikenalkan oleh empat fixier RRF Club ketika menjelajahi alam bebas. Keempat fixier ini, masing-masing Al Kausar (Ochar), Nedi (Bang Panjang), Arip (Ndut Oye) dan Kinoi (Kiting).
Dalam tim RRF Club ini, jelas Al Kausar, kode etik petualang itu pertama, take nothing but pictusre (jangan mengambil apapun kecuali gambar). Kedua, leave nothing but foot print (jangan meninggalkan apapun kecuali tapak kaki atau jejak), dan ketiga, kill nothing but time (jangan membunuh apapun kecuali waktu).
Maka tak heran, saat keempat fixier ini masuk ke alam bebas di wilayah Rantau Berangin, pukul 14.35 WIB, justru disambut dengan suara-suara Siamang-sejenis monyet berwarna putih keabuan dan berekor panjang. Ternyata jenis fauna langka ini masih mendiami hutan rimba itu.
"Ha... haa.. Ya, kami disambut para Siamang-Siamang itu, dengan suara histerisnya. Seremmm sih.. haaa..,?" aku Al Kausar, disapa Ochar, dengan tawa lepasnya.
"Lucu... haa.. haa, dan Alam memberikan petunjuk kepada kami, bahwa Siamang itu ternyata masih ada. Padahal, banyak yang bilang fauna ini sudah punah," jelas Arip, disapa Ndut Oye, dengan ketawa riangnya.
Sementara, Kinoi disapa Kiting, menuturkan konsep pelestarian lingkungan: Leave nothing but foot print. Bahwa, saat bertualang ini semua bekas kegiatan terutama sampah yang dihasilkan tidak boleh tertinggal.
"Sampah-sampah itu harus dibawa pulang kembali. Karena benda-benda tersebut, terutama plastik akan memberikan dampak buruk bagi kelestarian lingkungan. Termasuk jangan meninggalkan coretan di pohon maupun bebatuan," jelasnya.*
0 komentar:
Posting Komentar