Hubungi Kami | Tentang Kami | Disclaimer

Senin, 15 Agustus 2011

Abdullah Qayyum: Dahulukan Rakyat, Utamakan Kebijakan


Abdullah Qayyum
CEKAU.COM-Abdullah Qayyum memang jernih dalam menyusun pikiran. Ia memberikan kebebasan berpikir dalam bertindak. Kebebasan berpikir baginya adalah kreativitas. Kreativitas memberikan Ia tanggungjawab. Dari kebebasan inilah akan lahir suatu keberanian. Dalam pekerjaan, semua pendapat Ia silih dan pilah. Ia pun terbilang berani untuk mengambil sebuah keputusan yang ia anggap benar.

Katanya, keberanian memang bukan milik umum. Keberanian sebagai modal barangkali bisa diganti dengan sesuatu yang lebih bersahaja. Misalnya tidak adanya rasa bersalah. Dan, ikhlas dalam memberi.

Itulah bagian heroisme hati yang ia torehkan cukup lama. Ketika kita semua tahu, sebuah kebijakan dinilai dari kemampuan dan kualitas pemimpinnya. Tapi yang terpenting adalah dahulukan rakyat, utamakan kebijakan.

Kita tidak berhak mengaku paling benar. Disaat ini kita tidak boleh bimbang. Saya tak hendak menganjurkan pendirian yang mutlak-mutlakan. Saya hanya menyerukan perlunya sikap yang yakin. Yakin adalah bagian dari niat. "Pernahkah anda dengar seorang dengan keyakinan tinggi, lalu mengertakkan geraham, mengucapkan niat dan gunung-gunung pun berguncang?" tanyanya kepada Metro Riau.

Katanya, kita menghadapi masalah –masalah besar di tanah air ini. Tanpa yakin, tanpa niat, kita akan terayun-ayun dalam ketiadaan bertindak. Rakyat menderita. Lagi pula kita tak bertolak dari nol. Maka, kebijakan yang baik adalah justru kebijakan yang bisa dengan damai memperbaiki diri, bukan kebijakan yang merasa paling baik.
 
Ia seorang yang praktis dalam menentukan pilihan. Ia mudah akrab semua orang. Ia juga banyak melucu, dan sekalipun sadar akan kepintaran dan kekayaan pengalamannya, ia bisa mewarnai percakapan dalam waktu yang panjang. Dan, memang tak jarang buah pikirannya memberikan inspirasi bagi yang lain.

Ia tak pernah menangis untuk dirinya sendiri. Ia bisa mencucurkan air mata karena mengingat banyak pasien yang tak mampu justru membutuhkan banyak pertolongan. Lama ia hadapi. Ia gampang terharu di saat ia tak bisa lagi mendengar ucapan terimakasih.

Tapi, ia bukan penyedih atau perajuk. Mungkin hanya ia yang tahu. Sebuah pengalaman hidup yang teramat lama bagi dirinya untuk mengingat kembali tangisan dan keibaan sang pasien di sebuah pedalaman pinggiran kota, yang masih membutuhkan pertolongan.*


0 komentar:

Posting Komentar

Prev Post Next Post Home