CEKAU.COM-Ada menyebut, pendidikan bermutu itu harus merogoh kocek sedalam-dalamnya. Mahal? Pertanyaan ini selalu menghantui kalangan orangtua yang memiliki anak ketika masuk maupun keluar dari sekolah bersangkutan. Mengapa pertanyaan sederhana ini begitu sulit dijawab para pengambil kebijakan, di yang ada di negeri tercinta Indonesia ini? Duduk manis di meja tanpa melihat lebih jauh permasalahan di pelosok dan pedalaman.
Kota Jakarta, sebut saja demikian. Apakah nilai rupiah di dunia pendidikan sebanding dengan hidup di kota yang ada di sebuah provinsi? Tentu saja beda. Lebih berat mencari satu sen rupiah di desa ketimbang di kota Jakarta. Sama halnya, masalah biaya pendidikan ini. Justifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat di pedesaan untuk mengenyam bangku pendidikan bagi anak mereka.
Buktinya, mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Apakah pilihan ini salah. Sementara kondisi menunjukkan bahwa sepertinya pilihan mahalnya biaya pendidikan mengarah pada 'orang miskin tidak boleh sekolah'. Ironis.
Untuk masuk TK saja, orangtua harus merogoh kocek hingga mencapai Rp1.5 juta. Ini baru sekolah sederhana yang memiliki murid maksimal 25 orang di sekolah tersebut. Belum lagi, uang baju formal dan olahraga atau uang pembangunan. Malah, orangtua juga diwajibkan membayar bulanan yang tak sebanding dengan biaya strata pendidikan di sekolah menengah.
Untuk jenjang Sekolah Dasar, biaya dibutuhkan mencapai Rp1 juta hingga Rp3 juta. Ini belum termasuk pungutan liar, yang berdalih untuk biaya bangku, lampu taman, kipas angin, paving block (halaman) yang rusak dan pagar sekolah atau malah biaya ektrakurikuler.
Bagaimana dengan biaya masuk SLTP/SLTA? "Wah, anak saya ada tiga, satu masuk SD, SMP, dan SMA, biaya biaya yang harus saya keluarkan?" kata Zalkasiah, ibu rumah tangga, yang menggantungkan hidupnya pada suami bekerja sebagai buruk outsourching (buruh kontrak) di salah satu mitrakerja perusahaan minyak di Riau.
Bila menurut, biaya yang dikeluarkan untuk masuk SLTP atau SLTA bisa mencapai Rp2 juta sampai Rp5 juta. Setidaknya, ibu Zalkasiah harus mendesak sang suami mencari pinjaman sebesar Rp12 juta. Logiskah ini?
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah.
Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas.
Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Privatisasi Pendidikan, Pentingkah?
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar.
Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar, Republika, 10 Mei 2005 menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar.
Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Kota Jakarta, sebut saja demikian. Apakah nilai rupiah di dunia pendidikan sebanding dengan hidup di kota yang ada di sebuah provinsi? Tentu saja beda. Lebih berat mencari satu sen rupiah di desa ketimbang di kota Jakarta. Sama halnya, masalah biaya pendidikan ini. Justifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat di pedesaan untuk mengenyam bangku pendidikan bagi anak mereka.
Buktinya, mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Apakah pilihan ini salah. Sementara kondisi menunjukkan bahwa sepertinya pilihan mahalnya biaya pendidikan mengarah pada 'orang miskin tidak boleh sekolah'. Ironis.
Untuk masuk TK saja, orangtua harus merogoh kocek hingga mencapai Rp1.5 juta. Ini baru sekolah sederhana yang memiliki murid maksimal 25 orang di sekolah tersebut. Belum lagi, uang baju formal dan olahraga atau uang pembangunan. Malah, orangtua juga diwajibkan membayar bulanan yang tak sebanding dengan biaya strata pendidikan di sekolah menengah.
Untuk jenjang Sekolah Dasar, biaya dibutuhkan mencapai Rp1 juta hingga Rp3 juta. Ini belum termasuk pungutan liar, yang berdalih untuk biaya bangku, lampu taman, kipas angin, paving block (halaman) yang rusak dan pagar sekolah atau malah biaya ektrakurikuler.
Bagaimana dengan biaya masuk SLTP/SLTA? "Wah, anak saya ada tiga, satu masuk SD, SMP, dan SMA, biaya biaya yang harus saya keluarkan?" kata Zalkasiah, ibu rumah tangga, yang menggantungkan hidupnya pada suami bekerja sebagai buruk outsourching (buruh kontrak) di salah satu mitrakerja perusahaan minyak di Riau.
Bila menurut, biaya yang dikeluarkan untuk masuk SLTP atau SLTA bisa mencapai Rp2 juta sampai Rp5 juta. Setidaknya, ibu Zalkasiah harus mendesak sang suami mencari pinjaman sebesar Rp12 juta. Logiskah ini?
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah.
Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas.
Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Privatisasi Pendidikan, Pentingkah?
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar.
Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar, Republika, 10 Mei 2005 menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar.
Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Ini potret pendidikan di Indonesia. Mau pintar, ya uang?*
0 komentar:
Posting Komentar